Selasa, 09 Oktober 2012

Mencari Roh Pend, Nasional


MENCARI ROH PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH: Drs.Samsuddin M.Ag *)

Kualitas pendidikan nasional dewasa ini terus mengalami kemunduran, dalam diagnose  medis  pendidikan kita telah mengalami penyakit yang cukup parah maka perlu diopname dalam rangka keluar dari masa kritis itu dengan  jangka waktu tidak ditentukan, persoalan pendidikan ini Prof. Dr. Winarno Surakhmad pernah mengatakan pada acara debat public dalam rangka HARDIKNAS tahun 2006 yang lalu, “bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sejak proklamasi menurun terus telah mencapai titik nadirnya dewasa ini” kalimat ini cukup beralasan karena kita melihat secara realitas bahwa kita sudah lebih 60 tahun merdeka pendidikan nasional mengalalami kegelapan di mana kehidupan politik yang semakin ruwet, korupsi, disiplin hidup masyarakat, hilangnya kohesi social di antara masyarakat, dan kemerosotan moral lainnya, dan akhir-akhir ini terdapat kecurangan dalam ujian nasional dengan bahasa manisnya contek massal, ini semua merupakan buah dari pendidikan nasional.
Di tengah-tangah kontraversi pendidikan nasional, menurut H.A.R Tilaar, bahwa pendidikan nasioanal tidak kalah kualitasnya dengan pendidikan Negara-negara lain, kemampuan anak-anak Indonesia bersaing dalam kancah internasional telah membawa nama bangsa Indonesia popular di dunia, seperti olimpiade matematika dan fisika. Kemenangan dan keberhasilan yang cukup membanggakan itu kita jangan lupa bahwa itu kualitas partial yang natural serta  menggambarkan secara riil bahwa anak-anak Indonesia adalah cukup cerdas dan mempunyai bakat seta potensi yang cukup hebat. Dengan demikian pendidikan nasional sangat perlu mencari jati diri, agar roh pendidikan nasional tidak hilang begitu saja.   



Reaktualisasi Pendidikan Nasional
            Mengacu kepada tujuan ideal pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 bahwa “tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan bangsa”. Tapi kenyaataan arah dan tujuan pendidikan nasional   hilang begitu saja. Masa orde baru pendidikan nasional telah kehilangan akuntabilitasnya, masa reformasi pendidikan nasional telah kehilangan martabatnya yang dinodai dengan system penyelenggaraan pendidikan monopoli pemerintah syarat dengan KKN, yang mengakibatkan hanya orang mampu ekonominya yang bisa mengecap pendidikan, seperti lahirlan sekolah pavorit, lembaga pendidikan unggulan atau plus dengan pembiayaan “selangit” konsep ini semua menyebabkan munculnya image masyarakat bahwa pendidikan nasional telah dimarginalkan dari masyarakat.
            Di sisi lain demokratisasi pendidikan belum sepenuhnya dilakasanakan, artinya pelaksanaan pendidikan nasional ternyata belum mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Disamping itu juga bahaya laten pendidikan nasional adalah telah dipraktekkannya system evaluasi indoktrinisasi, lihat saja ketika “ujian nasional” pendidikan nasional telah lama memberikan pemujaan kepada system Multiple Choice. Menururut Paulo Freire system seperti ini adalah benar-benar mematikan daya pikir yang bebas dan kritis dari peserta didik. Demokrasi tidak dapat dikembangkan dengan membunuh pemikiran kritis atau pemikiran alternative, tetapi hanya dapat berkembang di dalam kebebasan berpikir dan tanggung jawab  atas alternative yang dipilih.
            Dari carut marut system pendidikan nasional maka perlu diaktualisasikan kembali arah dan pelaksanaan pendidikan itu kepada format yang sebenarnya, seperti pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan, hal ini penting dengan pemberdayaan masyarakat berarti pula masyarakat ikut serta menentukan arah dan isi pendidikan, selain dari itu sangat-sangat perlu juga mengaktualisasikan demokratisasi pendidikan, artinya tidak melakukan marginalisasi terhadap masyarakat yang hendak memperoleh pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah atau perguruan tinggi unggulan, plus dan dan lembaga pavorit lainya tidak akan tersentuh orang-orang tingkat ekonominya lemah kebawah, kasihan mereka, sebetulnya banyak miskin yang pintar tapi tidak mendapat kesempatan dalam pendidikan. Di samping itu untuk meningkatakan kualitas pendidikan kedepan agar kita tidak kalah dengan Negara lain, tentunya sarana dan prasarana dan sumber daya pendidikan harus segera diperhatikan.
            Perhatian kepada fasilitas pendidikan dan sumber daya pendidikan adalah salah satu indicator untuk meraih pendidikan nasional sukses, untuk itu di sarankan dalam pengadaan fasilitas pendidikan harus benar-benar terukur dan diawasi sehingga tidak terjadi rekayasa dan fiktif dalam pengadaan tersebut. Kemudian dalam pengadaan sumber daya pendidikan terutam tenaga pendidik atau guru, perlu diubah cara rekrutmennya, apabila selamanya ini hanya test yang pada perinsipnya tidak kaitannya dengan keguruan, maka perlu dipikirkan ada tambahan materi test  dengan materi Paedagogik atau Ilmu pendidikan dan juga tidak kalah pentingnya studi kelayakan mengajar sangat penting dilaksanakan bagi calon guru.

Roh Pendidikan Nasional
            Roh pendidikan nasional bukanlah persoalan dana, sekalipun permerintah telah mengalokasikan dan di APBN sebanyak 20 % untuk biaya pendidikan, dan subsidi lain terhadap pendidikan, bukan menjamin pendidikan nasional berkualitas, atau juga ada orang yang memperediksi bahwa kualitas pendidikan nasional harus dibac-up oleh guru yang professional, dan argument lain yang menjadi prasyarat yang dapat menggransi mendongkrak pendidikan nasional, nah itu boleh-boleh saja, sebagai garam dan cabenya ketika seorang ibu yang akan memasak sayur di dapur.
            Menurut Edgar Morin serorang pakar pendidikan dari Perancis, dia mengatakan bahwa hancurnya pendidikan sebuah bangsa itu adalah sejauhmana para politisi menjadikan pendidikan sebagai kenderaan politik praktisnya. Dengan demikian terjawablah sudah bahwa roh pendidikan nasional  itu adalah tergantung kepada para politisi kita.
            Suatu kenyataan menunjukkan bahwa politisi kita telah kehilangan suara hati nurani, yakni:
Pertama suara hati antroplogis, artinya suara hati yang mengembangkan rasa solidaritas  bangsa, perbedaan dibuat sebagai kekuatan.  Suara hati ini nyaris hilang dikalangan para politisi kita, suara rakyat dipolitisir untuk kepentingan pribadi, tidak merasakan kepedihan rakyat dalam kemiskinan, seribu alasan atas nama rakyat untuk menaikkan gaji dan pendapatan lainnya, seperti jalan-jalan ke luar negeri, beli laptop dan sarana perkantoran lainnya. Ini semua tidak menunjukkan nurani yang sempurna sebagai politisi.
Kedua suara hari ekologis, artinya rasa hati yang berdasarkan bagaimana merasakan jeritan lingkungan sosialnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dikalangan para politisi kita bahwa kecerdasan emosional sangat rendah,  Nazaruddin (Praktisi PD) contohnya tidak mau pulang karena kecerdasan emosional tidak ada, dan politisi lainnya yang KKN bukan sedikit yang terlibat dalam kasus TIPIKOR, dan juga kasus a-moral. Jadi jelasnya para politisi sangat miskin suara hati ekologis ini
Ketiga Suara hati spiritual, suara hati spiritual adalah suara hati untuk berkeinginan hidup bersama di dalam masyarakat yang multicultural. Artinya belajar melihat dan mendengarkan perberdaan-perbedaan yang muncul dalam masyarakat dan sepakat untuk mencari modus kehidupan bersama sehingga bisa mengambil kesadaran dan kesimpulan bahwa dirinya juga berasal dari masyarakat itu sendiri, bukan makhuk generasi spontan, begitu lahir langsung menjadi pilitisi. Keadaan para politisi kita sangat-sangat eksekulsif, jauh dari masyarakat, tidak menyadari secara social bahwa dia adalah berasal dari masyarakat itu sendiri.
            Suara hati yang dikemukakan di atas telah menghilang dari dunia pendidikan nasional, orientasi politik yang sempit telah mematikan paradigm kemanusiaan yang justeru telah mengilhami dan merupakan alat vital dari para perjuangan nasional kita.
Penutup
            Demikian tulisan ini disampaikan dengan harapan bahwa paradigma pendidikan ke depan dapat meretas kesulitan bangsa yang masih dilanda krisis social, politik, ekonomi, hokum kebudyaan dan krisis kualitas pendidikan. Dan kita berharap kepada politis menyadari sepenuhnya bahwa tugas dan tanggung jawabnya bukan mengurusi pribadi dan keluarganya tapi mengurusi umat agar tidak tergilas kebodohan komlpeks. *) Penulis adalah Dosen STAIN Padangsidimpuan


Padangsidimpuan, juli 2011
Penulis

Drs. Samsuddin, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar