MENCARI
ROH PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH:
Drs.Samsuddin M.Ag *)
Kualitas pendidikan
nasional dewasa ini terus mengalami kemunduran, dalam diagnose medis
pendidikan kita telah mengalami penyakit yang cukup parah maka perlu
diopname dalam rangka keluar dari masa kritis itu dengan jangka waktu tidak ditentukan, persoalan
pendidikan ini Prof. Dr. Winarno Surakhmad pernah mengatakan pada acara debat
public dalam rangka HARDIKNAS tahun 2006 yang lalu, “bahwa kualitas pendidikan
di Indonesia sejak proklamasi menurun terus telah mencapai titik nadirnya
dewasa ini” kalimat ini cukup beralasan karena kita melihat secara realitas
bahwa kita sudah lebih 60 tahun merdeka pendidikan nasional mengalalami
kegelapan di mana kehidupan politik yang semakin ruwet, korupsi, disiplin hidup
masyarakat, hilangnya kohesi social di antara masyarakat, dan kemerosotan moral
lainnya, dan akhir-akhir ini terdapat kecurangan dalam ujian nasional dengan
bahasa manisnya contek massal, ini semua merupakan buah dari pendidikan
nasional.
Di tengah-tangah
kontraversi pendidikan nasional, menurut H.A.R Tilaar, bahwa pendidikan nasioanal
tidak kalah kualitasnya dengan pendidikan Negara-negara lain, kemampuan
anak-anak Indonesia bersaing dalam kancah internasional telah membawa nama
bangsa Indonesia popular di dunia, seperti olimpiade matematika dan fisika.
Kemenangan dan keberhasilan yang cukup membanggakan itu kita jangan lupa bahwa
itu kualitas partial yang natural serta
menggambarkan secara riil bahwa anak-anak Indonesia adalah cukup cerdas
dan mempunyai bakat seta potensi yang cukup hebat. Dengan demikian pendidikan
nasional sangat perlu mencari jati diri, agar roh pendidikan nasional tidak
hilang begitu saja.
Reaktualisasi Pendidikan Nasional
Mengacu kepada tujuan ideal
pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 bahwa
“tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan bangsa”. Tapi kenyaataan
arah dan tujuan pendidikan nasional hilang begitu saja. Masa orde baru pendidikan
nasional telah kehilangan akuntabilitasnya, masa reformasi pendidikan nasional
telah kehilangan martabatnya yang dinodai dengan system penyelenggaraan pendidikan
monopoli pemerintah syarat dengan KKN, yang mengakibatkan hanya orang mampu
ekonominya yang bisa mengecap pendidikan, seperti lahirlan sekolah pavorit,
lembaga pendidikan unggulan atau plus dengan pembiayaan “selangit”
konsep ini semua menyebabkan munculnya image masyarakat bahwa pendidikan
nasional telah dimarginalkan dari masyarakat.
Di
sisi lain demokratisasi pendidikan belum sepenuhnya dilakasanakan, artinya pelaksanaan
pendidikan nasional ternyata belum mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh
pendidikan. Disamping itu juga bahaya laten pendidikan nasional adalah telah
dipraktekkannya system evaluasi indoktrinisasi, lihat saja ketika “ujian
nasional” pendidikan nasional telah lama memberikan pemujaan kepada system Multiple
Choice. Menururut Paulo Freire system seperti ini adalah benar-benar
mematikan daya pikir yang bebas dan kritis dari peserta didik. Demokrasi tidak
dapat dikembangkan dengan membunuh pemikiran kritis atau pemikiran alternative,
tetapi hanya dapat berkembang di dalam kebebasan berpikir dan tanggung jawab atas alternative yang dipilih.
Dari
carut marut system pendidikan nasional maka perlu diaktualisasikan kembali arah
dan pelaksanaan pendidikan itu kepada format yang sebenarnya, seperti
pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan, hal ini penting dengan pemberdayaan
masyarakat berarti pula masyarakat ikut serta menentukan arah dan isi
pendidikan, selain dari itu sangat-sangat perlu juga mengaktualisasikan
demokratisasi pendidikan, artinya tidak melakukan marginalisasi terhadap
masyarakat yang hendak memperoleh pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
sekolah atau perguruan tinggi unggulan, plus dan dan lembaga pavorit lainya
tidak akan tersentuh orang-orang tingkat ekonominya lemah kebawah, kasihan
mereka, sebetulnya banyak miskin yang pintar tapi tidak mendapat kesempatan
dalam pendidikan. Di samping itu untuk meningkatakan kualitas pendidikan
kedepan agar kita tidak kalah dengan Negara lain, tentunya sarana dan prasarana
dan sumber daya pendidikan harus segera diperhatikan.
Perhatian
kepada fasilitas pendidikan dan sumber daya pendidikan adalah salah satu
indicator untuk meraih pendidikan nasional sukses, untuk itu di sarankan dalam
pengadaan fasilitas pendidikan harus benar-benar terukur dan diawasi sehingga
tidak terjadi rekayasa dan fiktif dalam pengadaan tersebut. Kemudian dalam
pengadaan sumber daya pendidikan terutam tenaga pendidik atau guru, perlu diubah
cara rekrutmennya, apabila selamanya ini hanya test yang pada perinsipnya tidak
kaitannya dengan keguruan, maka perlu dipikirkan ada tambahan materi test dengan materi Paedagogik atau Ilmu pendidikan
dan juga tidak kalah pentingnya studi kelayakan mengajar sangat penting
dilaksanakan bagi calon guru.
Roh Pendidikan Nasional
Roh pendidikan nasional bukanlah persoalan
dana, sekalipun permerintah telah mengalokasikan dan di APBN sebanyak 20 %
untuk biaya pendidikan, dan subsidi lain terhadap pendidikan, bukan menjamin
pendidikan nasional berkualitas, atau juga ada orang yang memperediksi bahwa
kualitas pendidikan nasional harus dibac-up oleh guru yang professional, dan
argument lain yang menjadi prasyarat yang dapat menggransi mendongkrak
pendidikan nasional, nah itu boleh-boleh saja, sebagai garam dan cabenya ketika
seorang ibu yang akan memasak sayur di dapur.
Menurut
Edgar Morin serorang pakar pendidikan dari Perancis, dia mengatakan bahwa
hancurnya pendidikan sebuah bangsa itu adalah sejauhmana para politisi
menjadikan pendidikan sebagai kenderaan politik praktisnya. Dengan demikian
terjawablah sudah bahwa roh pendidikan nasional
itu adalah tergantung kepada para politisi kita.
Suatu
kenyataan menunjukkan bahwa politisi kita telah kehilangan suara hati nurani,
yakni:
Pertama suara hati antroplogis, artinya
suara hati yang mengembangkan rasa solidaritas
bangsa, perbedaan dibuat sebagai kekuatan. Suara hati ini nyaris hilang dikalangan para
politisi kita, suara rakyat dipolitisir untuk kepentingan pribadi, tidak
merasakan kepedihan rakyat dalam kemiskinan, seribu alasan atas nama rakyat
untuk menaikkan gaji dan pendapatan lainnya, seperti jalan-jalan ke luar
negeri, beli laptop dan sarana perkantoran lainnya. Ini semua tidak menunjukkan
nurani yang sempurna sebagai politisi.
Kedua suara hari ekologis, artinya rasa
hati yang berdasarkan bagaimana merasakan jeritan lingkungan sosialnya. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa dikalangan para politisi kita bahwa kecerdasan
emosional sangat rendah, Nazaruddin
(Praktisi PD) contohnya tidak mau pulang karena kecerdasan emosional tidak ada,
dan politisi lainnya yang KKN bukan sedikit yang terlibat dalam kasus TIPIKOR,
dan juga kasus a-moral. Jadi jelasnya para politisi sangat miskin suara hati ekologis
ini
Ketiga Suara hati spiritual, suara hati
spiritual adalah suara hati untuk berkeinginan hidup bersama di dalam masyarakat
yang multicultural. Artinya belajar melihat dan mendengarkan
perberdaan-perbedaan yang muncul dalam masyarakat dan sepakat untuk mencari
modus kehidupan bersama sehingga bisa mengambil kesadaran dan kesimpulan bahwa
dirinya juga berasal dari masyarakat itu sendiri, bukan makhuk generasi
spontan, begitu lahir langsung menjadi pilitisi. Keadaan para politisi kita
sangat-sangat eksekulsif, jauh dari masyarakat, tidak menyadari secara social
bahwa dia adalah berasal dari masyarakat itu sendiri.
Suara
hati yang dikemukakan di atas telah menghilang dari dunia pendidikan nasional,
orientasi politik yang sempit telah mematikan paradigm kemanusiaan yang justeru
telah mengilhami dan merupakan alat vital dari para perjuangan nasional kita.
Penutup
Demikian tulisan ini disampaikan
dengan harapan bahwa paradigma pendidikan ke depan dapat meretas kesulitan
bangsa yang masih dilanda krisis social, politik, ekonomi, hokum kebudyaan dan
krisis kualitas pendidikan. Dan kita berharap kepada politis menyadari sepenuhnya
bahwa tugas dan tanggung jawabnya bukan mengurusi pribadi dan keluarganya tapi
mengurusi umat agar tidak tergilas kebodohan komlpeks. *) Penulis
adalah Dosen STAIN Padangsidimpuan
Padangsidimpuan, juli 2011
Penulis
Drs. Samsuddin, M.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar