Selasa, 09 Oktober 2012

Menggagas Inovasi Kur Pesantren


MENGGAGAS PEMBINAAAN DAN PEMBAHARUAN
KURIKULUM PESANTREN
=========================================
Oleh: Drs.Samsuddin, M.Ag

Abstraksi
Pesantren adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, dan diakui atau tidak sudah menjadi sub-kultur bagi pembangunan bangsa dan Negara. Sebab kontribusi lembaga pendidikan Islam ini terhadap pendidikan Nasional dapat dirasakan terutama pengembangan fithrah anak, termasuk membumikan akhlak, moral dan etika serta pencerdasan spiritual anak.
Melihat kontribusi pesantren ini, maka diperlukan penajaman kurikulum, sehingga eksistensi pesantren ke depan dapat dipertahankan. Oleh karena itu arah pengembangan dan pembinaan kurikulum pesantren yang refsentatif ke depan adalah mengimplementasikan tiga keunggulan, unggul dari segi kitab kuningnya, unggul dari sektor bahasa dan unggul dari sisi sains dan teknologi. Tiga kemasan kurikulum itu dipetakan sebagai model kurikulum berbasis “multi triple curriculum atau disingkat denganMTC.

Kata kunci: Pesantren, Kurikulum, Aliran-Aliran Kurikulum, Kitab Kuning, Bahasa, Multi Triple Curriculum (MTC), Globalisasi 


A.    Pendahuluan
Transpormasi pendidikan tampaknya sangat dinamis dan terus berkembang, perkembangan dunia pendidikan sangat terasa bagi kehidupan bangsa dan Negara, dinamika pendidikan tersebut start nya ditandai pada awal lahirnya Republik ini tahun 1945 lalu, dalam konteks ke Indonesiaan peta babakan sejarah pendidikan kita dapat dibedakan dengan babakan orde lama, orde baru dan  era reformasi, secara global dinamika pendidikan dapat pula ditandai dengan prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini sejalan dengan John Naisbit dalam buku Mega Trend 2000 bahwa yang menjadi issu sentral dalam masyarakat globalisasi, dan issu ini diakibatakan oleh perkembangan informasi dan teknologi.[1]

Globalisasi dapat menggeser pola hidup manusia dari masyarakat primitive kepada masyarakat modern, pola hidup social menjadi manusia individual dampak yang paling serius dari globasasi sampai kepada bagaimana manusia mempertahankan kehidupan, akibat ini sudah barang tentu akan berpengaruh kepada dunia pendidikan.
Sistem pendidikan, termasuk pendidikan Islam merupakan hal yang terpenting dalam memperkuat jati diri bangsa, dengan pendidikan Islam yang berkualitas diharapakan dapat menjamin dan meproteksi kepribadian anak dari pengaruh isu global. Pendidikan Islam dalam gerak operasionalnya terkesan jalan di tempat terlebih-lebih pendidikan Islam yang bercirikan pesantren padahal system pendidikan pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, sudah barang tentu kontribusinya terhadap pendidikan nasional harus di akui sudah banyak peranannya dalam mencerdaskan bangsa dan oleh karena itu jugalah pesantren sudah menjadi sub kultur bagi bangsa dan Negara ini.
Justeru peranan pesantren sangat banyak kontribusinya terhadap masyarakat maka secara noramatif dan konstitusional lembaga pendidikan pesantren di legalkan sehingga bagi kyai sebagai penyelenggara pesantren tidak ragu-ragu lagi untuk mengemas pesantren agar pesantren dimaksud dapat berkualitas. Komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) no 20 tahun 2003 pasal 18 ayat 3 yaitu: “Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (M.A), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau berbentuk lain yang sederajat” [2] . Lebih jelas lagi posisi dan kedudukan pesantren pada pasal 30 ayat 4 dinyatakan bahwa:“Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain sejenis”[3].
Sebagai lembaga keagamaan yang berbentuk pesantren dengan jelas posisinya mendapat legitimasi dari pemerintah sama halnya dengan jenis satuan pendidikan lainnya maka pesantren mendapat peluang besar untuk dikembangkan dan berinovasi sehingga tidak ketinggalan zaman dan tidak tereliminasi secara natural, oleh karena itulah urgensitas format pesantren yang handal perlu digagas termasuk format kurikulumnya agar dapat layak jual dimasyarakat, dalam pada itulah hadir tulisan ini dengan tujuan untuk menguak bagaimana menggagas kurikulum pesantren yang layak uji dan mapan sehingga kopetitif produknya di dalam kancah globalisasi yang penuh persaingan ini. 
B.     Mengenal Pesantren
Secara etimologi segmen “pesantren” berasal dari bahasa Sanksekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata sant = orang baik (lk) dengan disambung dengan tra = suka menolong. Santra berarti orang yang suka menolong.[4] Jadi “pesantren” berarti tempat membina orang baik.
Pendapat lain, seperti yang dikutif Wahjoetomo dan Manfred Ziemek, pengertian “pesantren” diturunkan dari bahasa India yaitu shastri yang berarti Ilmuan yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang yang pandai menulis baca. Geertz menambahkan bahwa “pesantren” dimodifikasi dari pura Hindu.[5]  Atas pendapat yang hampir sama Steenbrink merumuskan secara terminologi yaitu:
Secara terminology dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, system tersebut dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa, Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, system tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji, bukan berasal dari istilah `Arab melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau, rangkeng atau dayah di Aceh, bukan merupakan istilah `Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[6]  
 Dalam pandangana Nurcholis Madjid, pesantren dapat dilihat dari dua segi. Pertama pendapat yang mengatakan bahwa pesantren berasal dari perkataan santri, sebuah kata yang berasal dari Sansekerta yang berarti melek huruf. Pendapat ini agaknya berdasarkan atas kaum santri kelas social literacy, yang menurut orang jawa adalah orang yang berusaha mendalami kitab-kitab bertuliskan dari berbahasa Arab. Kedua pendapat yang mengatakan bahwa pesantren yang mempunyai kata dasar santri dengan awalan pe dan akhiran an, sesunggunya berasal dari bahasa Jawa yang berakar dari kara cantrik, yang berarti seorang yang selalu mengikuti guru ke mana guru pergi menetap.[7]  
Terlepas dari argument di atas, pesantren ini sebenarnya beremberio dari pola pendidikan Islam pada masa lalu, ketika Rasul bermukim di Mekkah, beliau Rasul membuka praktik pendidikan dan pengajaran di Darul Arqam.[8] Di lembaga ini, para sahabat digembleng tanpa mengenal batas waktu, sehingga lahir kade-kader militan yang siap mengembangkan Islam ke daerah-daerah kekuasaan Persia di Timur dan Romawi di Barat dalam kurun waktu 35 (tiga puluh lima) tahun.
Pondok pesantren sejak abad ke 15 (lima belas) sudah ada di Indonesia. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Amal Fatahullah Zakasy, “pondok pesantren sebenarnya sudah ada sejak abad ke 15 M. Hal ini dapat dibuktikan dari sejarah keberadaan pesantren Gelogah Arun yang didirikan oleh Raden Fatah (Raja Demak) pada tahun 1476.[9] Keberadaan pesantren tidak terlepas dari pengaruh Islam dari Arabia. Ini dikarenakan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tertua, system pendidikannya mengacu kepada sejarah murni yang berfungsi sebagaimana terjadi pada zaman atau masa Rasulullah saw. sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pengembangan masyarakat muslim Indonesia.
Kemudian dalam perjalan sejarah pesantren, sebenarnya tidak terlepas dari eksistensi sejarah pada masa lalu, ketika Rasul mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan pengajaran Darul Arqom di Mekkah seperti yang disebutkan di atas, setelah hijrah ke kota madinah pada mulanya sebagai lembaga pendidikan Islam tunggal, kemudian lahir Al-Kuttab, sehingga sampai kepada masa kejayaan Islam dikenal lembaga pendidikan Islam yang tersohor seperti Daru al-Hikmah dan Daru al-`Ilm.
Dalam kontek ke Indonesia-an start  awal pertumbuhan pesantren dimulai dari sejak masuknya Islam ke Indonesia (abad ke 7) sampai pada abad ke 16. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Ensiklopedi Islam bahwa di antara abad 16 sampai abad 18 menurut laporan pemerintah Belanda pada tahun 1813 M terdapat sejumlah 1.853 buah lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia.[10] Selanjutnya pada era ini dikategorikan masa perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Kehadiran pesantren pada masa perkembangan ini ada kecenderungan kea rah kosmopolit dan dinamis, hal ini disebabakan karena Belanda telah menguasai kota-kota perdagangan, dampaknya adalah pesantren terdoring keluar dari kota dan masuk ke pedalaman dan kemudian menutup diri dari kehidupan duniawi. Setelah itu pesantren semakin memusatkan perhatian dalam masalah-masalah agama. [11]
Kemdian pada abad ke 18 sampai sekarang boleh dikatakan fase ini sebut saja dengan fase modernisasi, sebab menurut Hanun Asroha:
Pasca kemerdekaan, pesantren telah menuju suatu perkembangan yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan di pesantren. Sebenarnya antara pesantren dan perguruan tinggi terdapat perbedaan, pesantren merupakan fenomena bercorak tradisional dan mayoritas berada di pedesaan, sementara perguruan tinggi terdapat di perkotaan dan bersifat modern.[12]

Sejalan dengan itu pada 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren dengan mendirikan pesantren mode baru dengan nama Pondok Karya Pembangunan (PKP), Pondok Meodern Islamic Centre, dan Pesantren Pembangunan.[13] Muculnya pemodernisasian pesantren tidak terlepas dari pendidikan Islam, di mana pada permulaan abad 20 terjadi beberapa perubahan dalam Islam di Indonesia yang dalam garis besarnya dapat digambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan bahkan pencerahan. Pembaharuan pendidikan Islam ini cukup beralasan karena di berbagai tempat muncul keinginan untuk kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, selain dari itu, sifat perlawanan nasional terhadap colonial Belanda, dan juga tidak terlepas dari dorongan dan usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang social ekonomi baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan rakyat banyak. Dan alasan yang paling urgen modernisasi atau pembaharuan pendidikan Islam itu adalah karena eksitensi dari pendidikan Islam itu masih banyak orang yang tidak puas, pendidikan Islam yang nota benenya pesantren terkesan tradisional, hanya mengajarkan kitab-kitab kalasik dan mengajarkan masalah ke agamaan, ekses dari situasi ini maka pada abad 20 ini tampaknya ada usaha untuk memperbaiki lembaga pendidikan Islam, maka muncullah pesantren modern, lembaga pendidikan Islam terpadu, dan nama-nama lain lembaga pendidikan Islam yang erat kaitannya dengan konsep pembaharuan pendidikan Islam.

C.    Menguak Kurikulum Pesantren
Secara literal kurikulum berasal dari kata curriculum artinya arena perlombaan, kadang kadang arena itu dibayangkan sebagai arena pacuan kuda yang memiliki garis start-finish dengan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh joky.[14] Sementara menurut Herman Horne, secara harfiah kata kurikulum berasal dari bahasa Latin yaitu a little racecourse maksudnya adalah suatu jarak yang ditempuh dalam pertandingan olah raga, kemudian ditransfer ke dalam pengertian pendidikan menjadi cird of instruction artinya suatu lingkaran pengajaran, di mana guru dan murid terlibat di dalamnya.[15] Kemudian dalam khasanah pendidikan Islam, Al-Syaibani menuliskan bahwa istilah kurikulum disebut dengan Manhaj artinya jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan.[16]
Dari formulasi di atas para ahli pendidikan mengadopsi kata kurikulum itu kepada pendidikan, sehingga dewasa ini ini pemahaman orang terhadap kurikulum itu adalah sejumlah mata pelajaran tertentu yang harus dikuasai oleh anak untuk mencapai suatu tingkatan pendidikan, atau juga dapat dikatakan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses pembelajarana di bawah bimbingan tanggung jawab sekolah,    
Dalam pengertian yang lebih luas kurikulum itu dapat diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa, atau bukan sekedar rencana pelajaran , tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[17] Dari defenisi ini dapat digambarkan bahwa kurikulum itu adalah keseluruhan usaha yang terlibat dalam memberikan dan mengembangkan potensi anak termasuk di dalamnya pendidik atau guru dan masyarakat.
Dari pengertian di atas dapat dianalisis bahwa dalam konteks sejarah pendidikan, kurikulum pada awalnya belum dikenal oleh manusia, sekalipun pada saat itu ditemukan semacam lembaga pendidikan, dalam catatan Webster sebagaimana yang dikutip oleh S.Nasution  bahwa istilah kurikulum pertama kali ditemukan dalam kamusnya Webster pada tahun 1856,[18] istilah kurikulum pada saat ini diartikan merupakan suatu jarak yang ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan dari awal sampai akhir. Kemudian dalam konteks ke Indonesia-an istilah kurikulum baru kenal pada tahun empat puluhan, hal ini sebagaimana yang dituliskan oleh Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, ….guru perlu mempunyai cakrawala yang luas di bidang kurikulum baik kurikulum masa penjajahan, revolusi setelah merdeka dan masa sekarang.[19]
Dari orientasi sejarah kurikulum yang disebutkan di atas, tampaknya pemaknaan kurikulum terus mengalami dinamika dan bahkan dewasa ini para ahli pendidikan dan pengajaran membedah aliran-aliran kurikulum, aliran-aliran ini merupakan konsep dasar bagi tenaga pendidikan maupun tenaga kependidikan dalam merancang dan mendesain konsep kurikulum yang akan di implementasikan dalam sebuah lembaga pendidikan.  Aliran-aliran dimaksud termasuk aliran progressivesm, essensialism prenialism, rekonstruksionism dan existensialism.[20]
Dari paradigma pemaknaan, historis dan aliran-aliran kurikulum itu, dapat digambarkan bahwa pesantren terkesan tidak memiliki sebuah kurikulum yang dapat diukur, karena sampai saat ini suatu kenyataan menunjukkan bahwa pesantren kita hanya berdasarkan mata pelajaran yang di alokasikan pada setiap kelas dan tingkatan, dan mata pelajaran dimaksud tidak mengalami perubahan, statis dan tidak mengalami inovasi dari tahun ke tahun, di sisi lain pesantren di nusantara ini pada hakikatnya kurikulumya berbeda dari pesantren yang satu dengan pesantren yang lain. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Mastuhu terhadap lima pesantren, yaitu pesantren Guluk-Guluk, Sukarejo, Blok Agung, Tebuireng, Pacitan dan pesantren Gontor, ditemukan bahwa setiap pesantren kurikulum yang mereka pakai tidak sama, artinya kitab-kitab yang mereka gunakan tidak menunjukkan kesamaan antara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya.[21]
Dari tiga kejanggalan di atas dapat dianalisa bahwa konsep lembaga pendidikan pesantren secara pesimistis nyaris tidak punya kurikulum, karena konsep kurikulum itu,  mempuyai rumusan dan indicator tertentu serta didiskripsikan secara jelas dan terukur, lihat saja kurikulum yang dibawah naungan dinas pendidikan, dari satuan pendidikan tingkat dasar, satuan pendidikan tingkat menengah atas, jelas konsepnya, di mana kurikulum tersebut mempunyai diskripsi silabus dan target yang harus dicapai oleh guru dalam mencerdaskan dan menggali potensi anak.
Menurut pengamatan penulis, jika idealisasi ini dipertahankan cepat atau lambat lembaga pendidikan pesantren akan terseleksi oleh alam, dan beberapa tahun kedepan pesantren tidak jadi idola pendidikan masyarakat. Masalah lain adalah materi ajar di pesantren adalah berbasis buku atau kitab klasik yang monoton, kajian-kajian dalam materi ini sungguh tidak adaftif, progressive dan tidak mengacu kepada kebutuhan anak masa kini dan masa yang akan datang.
Fenomena ini dapat menimbulkan panitisme beragama karena buku atau kitab yang dipakai adalah hanya satu literature, anak dijejali dengan doktrin berdasarkan satu argument tanpa ada penyeimbang antara ide yang satu dengan ide lainnya, pada akhirnya anak-anak pesantren tidak mampu memahami realitas yang berkembang.        

D.    Menggagas Kurikulum Pesantren
Kurikulum pesantren bukan tidak mungkin dirumuskan model dan inovasi kurikulumnya, peluang untuk dinamisasi itu sangat tepat di era ini, baik dari sisi social kultur masyarakat Indonesia, maupun dari sisi soisial budaya masyarakat bangsa, apalagi dikaitkan dengan masyarakat kita adalah bangsa yang religious, yang kecenderungan arah pendidikannya adalah sangat mengedepankan pendidikan Islam. Dalam konteks yuridis formal secara jelas disebutkan bahwa eksistensi dan esensi pesantren di dalam Negara ini tidak diragukan lagi kehadirannya, justeru legalisasi lembaga pendidikan Islam seperti pesantren secara jelas di tuangkan dalam pasal 30 ayat 4 UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain sejenisnya”.[22]
Berarti menurut paradigma UU Sisdiknas ini dapat diinterpretasi bahwa pendidikan keagamaan seperti pesantren mendapat porsi legalitas dalam memberikan kontribusi untuk mengembangkan potensi anak sehingga terwujud tujuan pendidikan Nasional.[23] Dengan demikian peluang untuk mendinamisir kurikulum pesantren tergantung pada top manager dari pimpinan pesantren itu sendiri. Keterbukaan kyai dan pemilik pesantren sangat diharapkan menangkap peluang ini, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama maksudnya) tampaknya sangat kooperatif terhadap pengembangan pendidikan keagamaan termasuk pesantren di nusantara ini, perhatian Kementerian Agama terhadap pendidikan keagamaan dapat di lihat bahwa Maftuh Basyumi (mantan Menteri Agama) mendorog pendidikan keagamaan agar lembaga yang ada di jajaran Kementerian Agama dapat mengembangkan institusinya sehingga produk dan output nya memahami lebih baik dalam masalah keagamaan, mereka diharapkan mampu menjadi orang yang menguasai ilmu dan ahli agama.[24] Harapan dari pemerintah itu merupakan apresiasi terhadap lembaga pendidikan keagamaan agar dapat berinovasi secara gradual  baik dari segi pengelolaan fisik, managemen, terlebih-lebih menggagas kurikulum ganda yang refsentatif agar anak siap memiliki sejumlah pengetahuan agama dan dapat bersaing di dunia lapangan kerja.  
Oleh karena itu tujuan dan arah pengembangan pesantren masa depan diharapkan paling tidak mengacu kepada tiga elemen penting yaitu: Pertama: Pola kepeminpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara, Kedua Kitab-kitab rujukan harus relevan dengan kontek realitas yang berkembang dan Ketiga System nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Dengan  berbekal tiga elemen inilah pondok pesantren dapat melakukan trobasan baru bagaimana seharusnya pesantren yang refsentatif masa depan.
Khusus masalah value system  kaum santri sebagaimana Sutejo, harus mempunyai tiga pilihan: pertama, membina dan memelihara nilai-nilai yang ada dengan caranya masing-masing (konservatif; kedua melakukan perubahan seperlunya (reformatif) dan ketiga merombak nilai-nilai itu (transformative).[25] Barangkali, perinsip modernisasi kaum santri yang paling baik adalah memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Dari paradigma ini dapat ditangkap bahwa tujuan menggagas inovasi kurikulum pesantren adalah:
1.      Untuk merekonstruksi profil pesantren yang betul-betul dapat memberikan kontribusi kepada pendidikan nasional;
2.      Untuk mengubah prespektif masyarakat bahwa pesantren adalah unik dan eksekulsif;
3.      Untuk mereformasi tujuan institusional pesantren menjadi lembaga pendidikan yang memiliki yang sifat terbuka dan siap mengimplementasikan sains dan teknologi;
4.      Untuk transformasi profil pesantren dari konservatif menuju profil pesantren modern;
5.      Untuk memberikan peluang terhadap produk pesantren relevan dengan konteks kenian;
6.      Untuk dapat menjawab tantangan zama yang selalu berubah ubah.
Formulasi tujuan di atas menggambarkan betapa perlunya takhassus dalam sebuah pesantren, takhasusus dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada pesantren memilih ciri khas dari pesantren, sehingga setiap pesantren mempunyai keunggulan dan dapat mempertahankan keunikan dari pesantren itu sendiri. Dalam menetapkan dan mencarri format takhassus di sebuah pesantren harus memprediksi ke depan peluang dan tantangan dari takhassus itu sendiri.  
Dalam mengemas discours di atas tampaknya belum lengkap dan tuntas jika tidak diikat dengan model kurikulum yang akan diimplementasikan di sebuah pesantren, oleh karena itu Saifuddin Zuhri menawarkan gambaran kurikulum pesantren masa depan adalah kurikulum yang mencerminkan keseimbangan proporsional dalam kebutuhan manusia akan kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat, apresiasi atas potensi akal dan qalbu, pemenuhan jasmani dan rohani serta keseimbangan antara potensi diri (internal) dan potensi lingkungan (eksternal).[26] Dari tawaran inovasi dan gagasan kurikulum pesantren seperti yang disebutkan di atas maka sabjek kajian kitab kuning dikembangkan tidak lagi terbatas pada kajian Fikih, Nahu, Sharaf dan Tasauf belaka yang dibaca secara berulang-ulang dari generasi kegenerasi berikutnya, akan tetapi juga diperluas cakupannya dengan mengkaji dan menelaah disiplin ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya, baik berkenan dengan ajaran dasar Islam maupun dengan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, agenda utama lain dalam menggagas perubahan kurikulum pesantren adalah mengorientasikan pendidikan pesantren pada upaya menumbuh kembangkan intuisi dan spritualitas santri sebagai penyelarasan dimensi intelektualitasnya. Dengan demikian peluang terbentuknya intelektual muslim yang memiliki kepekaan spiritual lebih bisa dimungkinkan lahir dari kalangan pesantren. Bahkan kata Saifuddin Zuhri, jika melihat potensi besar dari pesantren yakni potensi pendidikan dan potensi pengembangan masyarakat dan utopis bila pesantren dapat melahirkan Ulama yang memililki kekuasaan ilmu dan dapat menjawab tuntutan perubahan social.[27] 
Konsep dan tawaran inovasi kurikulum tadi dapat diraih, asalkan internal pesantren sendiri melakukan ikhtiar transformasi sistem pendidikannya dengan tetap berpijak khittah utama pesantren sebagai institusi pendidikan dan pengembangan masyarakat. Ikhitiar ini akan berhasil bila keinginan itu dikehendaki dan diupayakan oleh para tokoh pemukanya. Adanya kemauan dari para tokoh pemuka pesantren untuk melakukan perubahan system pendidikannya merupakan potensi tersendiri untuk dapat menjawan tuntutan masyarakat dan zaman kekinian. Begitupun perlu diingat transformasi kurikulum pesantren belum dapat menjamin santri untuk melahirkan harapan-harapan di atas. Masih diperlukan pematangan konsep lebih lanjut dan berkesinambungan dengan keseriusan dan semangat ijtihad dari komunitas di dalamnya.

E.     Multi Triple Curriculum (MTC) : Sebuah Model Gagasan Curriculum Pesantren
Dalam merespon arahan dan gagasan kurikulum pesantren masa depan, perlu tawaran pemataan kurikulum pesantren. Tawaran dan pemataan kurikulum dimaksud adalah dengan Model  “Multi Triple Curriculum atau dapat disingkat MTC”.[28]
Multi Triple Curriculum (MTC) merupakan perpaduan tiga kurikulum unggulan yang dikemas dalam pesantren dengan pembinaan dan pengembangan system pesantren 24 jam dalam komplek asrama. Tiga dimensi kurikulum unggulan tersebut adalah:
Pertama; kurikulum pesantren mengacu pada kemampuan kitab kuning literature sumber kajian syari`at Islam berbahasa `Arab. Pada kurikulum ini santri dididik menggali kajian syari`at Islam berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadist langsung dari sumber aslinya. Mata pelajaran ini langsung diasuh oleh kyai yang profesional yang ada di pesantren itu. Tampaknya urgensitas pembelajaran kitab kuning di kalangan pesantren sangat perlu dilestarikan, karena materi yang ada di dalam adalah outentik, namun demikian pengembangan pembelajaran kitab kuning masih perlu dilakukan, arah pengembangan dimaksud harus sejalan dengan kecenderungan intelektual modern. Seperti memodernkan kitan kuning dengan berusaha mencari pemecahan masalah lebih kompleks karena persoalannya memang rumit dan menyentuh banyak sisi. Salah satu bentuknya adalah upaya re-aktualisasi pemahaman kandungan kitan kuning. Dengan demikian inovasi pembelajaran kitab kuning paling tidak dapat dilakukan beberapa alternative seperti, melalui seminar, diskusi, halaqah, kuliah umum dan system lain yang di anggap refsentatif sesuai dengan strategi pembelajaran modern.
Kedua; kurikulum pesantren modern yang mengacu pada kecakapan berkomunikasi dalam bahasa dakwah nasional dan bahasa internasional (bahasa `Arab dan bahasa inggris) materi ini dibimbing oleh praktisi bahasa lulusan bahasa `Arab dan dan bahasa Inggris. Dengan demikian bahasa yang digunakan di pesantren diprioritaskan dua bahasa, pengembangan bahasa ini dapat dilakukuan dengan dua cara; pertama melalui intesifikasi bahasa dengan mewajibkan pemakaian dua bahasa di lingkungan pesantren, dan kedua pembelajaran secara formal melalui remedial dengan menetapkan waktu di luar jam pembelajaran.
Ketiga;kurikulum sekolah umum yang mengacu pada kemampuan skill dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bidang studi ini diasuh oleh para alumnus sains dan sarjana lain yang relevan. Pengembangan ketrampilan atau skill praktis, ini menjadi unggulan pesantren yang berbasis MTC, guna membekali para santri untuk dapat mandiri di era globalisasi. Ini dapat dilakukan seperti mempelopori home indutri, mempelopori masalah teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi tepat guna, pengembangan materi pembelajaran eksakta dan ilmu pengatahuan alam.

F.     Penutup
Gagasan pembinaan dan pembaharan kurikulum pesantren sangat diperlukan dengan karena jika dipertahankan eksitensi pesantren akan menimbulkan kejumudan dan eksekulsif pesantren itu sendiri, olej karena itu pembinaan dan pembaharuan kurikulum pesantren bertujuan agar pesantren mendapat legitimasi masyarakat dan produk pesantren itu selain alumninya memiliki pengetahuan keagamaan yang handal, menjadi ulama dan intelektual muslim diharapkan juga pesantren memiliki pengetahuan ganda yang seimbangan antara pengetahuan duniwawi dan ukhrawi.
Keraguan dan kegamangan pembinaan dan pembaharuan kurikulum pesantren sudah bisa ditepis lewat kibijakan dan peraturan perundang-udangan yang berlaku, oleh karenan itu pesantren ke depan mendapat peluang yang sangat besar dalam pengembangan intitusinya menjadi sebuah lembaga yang refsentatif di nusantara ini.
Arah dan pengembangan pesantren paling tidak diupayakan merekonstruksi system pesantren di mulai dari kyai, managemen, proses pembelajaran, sarana dan prasarana serta pemberdayaan guru yang professional.
Model dan labelisasi serta pemetaan pembinaan dan pembaharuan kurikulum pesantren adalah kurikulum berbasis MTC atau Multi Tripel Curriculum, artinya kurikulum yang memproritaskan tiga keunggulan yaitu, keunggulan trdisional pesantren, keunggulan bahasa dan keunggulan ilmu pengetahuan sain/teknologi 

























DAFTAR BACAAN

Ahmad Tafsir,  Ilmu Pendidikan Islam Dalam Prespektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992
 Alfin  Tofler, The Third Wave, New York: William Morrow  and co. 1980
Amal Fatahullah Zarkasy, (Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dakwah) dalam buku Adi Sasono dkk, Solusi Islam atas Problema Umat, (Ekonomi Pendidikan dan Dakwah) Jakarta: Gema Insani, 1998
Anwar Arifin,  Undang-Undang Sistem Penddikan Nasional, Jakarta, DEPAG RI, 2003
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UU Sisdiknas, Jakarta: DEPAG RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam;, 2003
Clifton F.Conrad, The Andergraduate Curriculum: A Guede to Innovation and Reform, Bouder: Colorado, Westview Press, 1978
Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Herman H.Horne, An Idealistic Philosophy of Education, Chicago: The University Chicago, 1962
Iskandar Wiryokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998
John Naisbit, dan Patrica Aburdene, Mega Trend 2000 Ten New Direction for fhe 1990s, William Morrow and Company; INC New York 1990.
Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, cet. ke 2 Jakarta: LP3S, 1994
Majalah, Ikhlas Beramal, No. 58 tahun XII Agustus 2009, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009
Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Indonesian Netherlands Coorperation ini islamic Studies (INIS) 1994
Matulada, dkk. Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali Press, 1983
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasial, Surabaya: Usaha Nasional, 1996
Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1994
Nasution  S., Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Sebuah Potret Perjalanan ( Jakarta: Paramadina, 1997
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam (Suatu Kajian Tentang Sistem Pendidikan Pesantren Salaf Dalam Menghadapi AFTA 2003) Banda Aceh, PPS. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tesis,2000
Sutejo, Dalam Buku Pesantren Masa Depan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa depan, Jakarta: Gema Insani, 1997










                                                                     











                                                                                                                                                        
                                                                                                                                                                              


[1] . John Naisbit, dan Patrica Aburdene, Mega Trend 2000 Ten New Direction for fhe 1990s, (William Morrow and Company; INC New York 1990), hal. 24. Globalisasi juga disebut global village maksudnya kawasan regional menjadi  suatu keluarga, dan dunia bertukar menjadi satu kampus. Lihat; Alfin  Tofler, The Third Wave, (New York: William Morrow  and co. 1980) hal. 25 
[2].  Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam UU Sisdiknas, (Jakarta: DEPAG RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam;, 2003), hal. 42
[3]. Ibid. hal. 47
[4]. Matulada, dkk. Agama dan perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1983), hal. 328         
[5]. Menurut Manfred Ziemek, “ pesantren” lazim diawali oleh kata pondok. Pondok itu sendiri berasal dari Funduq (bahasa `Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana. Karenan pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar dari tempat asalnya. Lihat Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa depan, (Jakarta: Gema Insani, 1997), hal 70
[6]. Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, cet. Ke 2 (Jakarta: LP3S, 1994), hal. 20
[7]. Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Sebuah Potret Perjalanan ( Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20
[8] Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam (Suatu Kajian Tentang Sistem Pendidikan Pesantren Salaf Dalam Menghadapi AFTA 2003) (Banda Aceh, PPS. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tesis,2000), hal. 63
[9]. Amal Fatahullah Zarkasy, (Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dakwah) dalam buku Adi Sasono dkk, Solusi Islam atas Problema Umat, (Ekonomi Pendidikan dan Dakwah) (Jakarta: Gema Insani, 1998), hal. 106. Data lain penulis peroleh tetang keberadaan pesantren di Indonesia, bahwa pesantren baru diketahui pada permulaan abad ke 16 M. Pada abad ini dapat dijumpai  pesantren  besar yang mengajarkan kitab Islam klasik. Lihat Ensiklopedi  Islam jilid  4,( Jakarta : Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1994), hal, 99      
[10].  Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1994), hal. 101
[11]. Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 184
[12]. Pesantren yang mulai merintis Perguruan Tinngi di antaranya adalah Pesantren Darul Ulum Jombang Pada akhir tahun 1965, pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum. Lihat Hanun Asroha, Ibid. hal 190
[13] Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4, Ibid, hal. 102
[14].  Clifton F.Conrad, The Andergraduate Curriculum: A Guede to Innovation and Reform, (Bouder: Colorado, Westview Press, 1978), hal. 4
[15]. Herman H.Horne, An Idealistic Philosophy of Education, (Chicago: The University Chicago, 1962), hal. 158
[16]. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal 478 
[17]. Ahmad Tafsirm Ilmu Pendidikan Islam Dalam Prespektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1992), hal. 53  
[18]. S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal.2 
[19] .Iskandar Wiryokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hal. 92
[20]. Progressivism, merupakan aliran yang berpendapat bahwa kurikulum yang tepat adalah mempunyai nilai –nilai edukasi, dan bentuk  kurikulum yang diinginkan adalah harus sesuai dengan konteks kekinian untuk bekal anak masa depan, essensialism, aliran ini berpendapat bahwa kurikulum yang rancang harus memandang bahwa pendidikan itu sebagai pemeliharaan kebudayaan, berarti content kurikulum harus sesuai dengan nilai-nilai budaya yang pada masayarakat bangsa setempat, lain pula pandangan prenialism, muatan kurikulum seharusnya kembali kepada masa lalu yang pernah jaya dan pasti sudah teruji, sementara rekonstruksionism berpendapat bahwa arah dan konsep kurikulum berusaha membina suatu consensus yang paling luas, berkeinginan merombak tata susunan kurikulum lama dan membangun susunan dan konsep yang baru sesuai dengan realitas berkembang, dan terakhir eksitensialism, aliran ini mengutamakan factor individu dan potensi anak, oleh karena itu kurikulum tidak perlu kaku, biarkan anak itu mencari identitasnya. Lihat Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hal. 223, 252, 254, 296,329, 331 dan 341   
[21]. Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,(Jakarta: Indonesian Netherlands Coorperation ini islamic Studies (INIS) 1994), hal. 55  
[22]. Anwar Arifin,  Undang-Undang Sistem Penddikan Nasional, (Jakarta, DEPAG RI, 2003), hal. 47  
[23]  Tujuan Pendidikan Nasional, secara jelas di sana digambarkan pada BAB II Pasal 3 “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Lihat UU Sisdiknas … Ibid. hal. 37
[24]. Majalah, Ikhlas Beramal, No. 58 tahun XII Agustus 2009 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), hal.35
[25]. Sutejo, Dalam Buku Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 77
[26]. Saifuddin Zuhri, Dalam Buku Pesantren Masa Depan…Ibid , hal. 205
[27].  Saifuddin Zuhri, Ibid. hal 206
[28]. Multi Triple Curriculum (MTC) adalah hasil kajian penulis dalam thesis PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lihat,   Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam,… Op-Cit. hal. 124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar