MENGGAGAS PEMBINAAAN DAN PEMBAHARUAN
KURIKULUM PESANTREN
=========================================
Oleh: Drs.Samsuddin, M.Ag
Abstraksi
Pesantren adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
tertua di Indonesia, dan diakui atau tidak sudah menjadi sub-kultur bagi
pembangunan bangsa dan Negara. Sebab kontribusi lembaga pendidikan Islam ini
terhadap pendidikan Nasional dapat dirasakan terutama pengembangan fithrah
anak, termasuk membumikan akhlak, moral dan etika serta pencerdasan spiritual
anak.
Melihat kontribusi pesantren ini, maka diperlukan penajaman
kurikulum, sehingga eksistensi pesantren ke depan dapat dipertahankan. Oleh
karena itu arah pengembangan dan pembinaan kurikulum pesantren yang refsentatif
ke depan adalah mengimplementasikan tiga keunggulan, unggul dari segi kitab
kuningnya, unggul dari sektor bahasa dan unggul dari sisi sains dan teknologi.
Tiga kemasan kurikulum itu dipetakan sebagai model kurikulum berbasis “multi
triple curriculum atau disingkat denganMTC.
Kata kunci: Pesantren, Kurikulum, Aliran-Aliran Kurikulum, Kitab
Kuning, Bahasa, Multi Triple Curriculum (MTC), Globalisasi
A.
Pendahuluan
Transpormasi
pendidikan tampaknya sangat dinamis dan terus berkembang, perkembangan dunia
pendidikan sangat terasa bagi kehidupan bangsa dan Negara, dinamika pendidikan
tersebut start nya ditandai pada awal lahirnya Republik ini tahun 1945
lalu, dalam konteks ke Indonesiaan peta babakan sejarah pendidikan kita dapat
dibedakan dengan babakan orde lama, orde baru dan era reformasi, secara global dinamika
pendidikan dapat pula ditandai dengan prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
kebutuhan hidupnya. Hal ini sejalan dengan John Naisbit dalam buku Mega
Trend 2000 bahwa yang menjadi issu sentral dalam masyarakat globalisasi,
dan issu ini diakibatakan oleh perkembangan informasi dan teknologi.[1]
Globalisasi
dapat menggeser pola hidup manusia dari masyarakat primitive kepada masyarakat
modern, pola hidup social menjadi manusia individual dampak yang paling serius
dari globasasi sampai kepada bagaimana manusia mempertahankan kehidupan, akibat
ini sudah barang tentu akan berpengaruh kepada dunia pendidikan.
Sistem
pendidikan, termasuk pendidikan Islam merupakan hal yang terpenting dalam
memperkuat jati diri bangsa, dengan pendidikan Islam yang berkualitas diharapakan
dapat menjamin dan meproteksi kepribadian anak dari pengaruh isu global.
Pendidikan Islam dalam gerak operasionalnya terkesan jalan di tempat
terlebih-lebih pendidikan Islam yang bercirikan pesantren padahal system
pendidikan pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia,
sudah barang tentu kontribusinya terhadap pendidikan nasional harus di akui
sudah banyak peranannya dalam mencerdaskan bangsa dan oleh karena itu jugalah
pesantren sudah menjadi sub kultur bagi bangsa dan Negara ini.
Justeru peranan
pesantren sangat banyak kontribusinya terhadap masyarakat maka secara noramatif
dan konstitusional lembaga pendidikan pesantren di legalkan sehingga bagi kyai
sebagai penyelenggara pesantren tidak ragu-ragu lagi untuk mengemas pesantren
agar pesantren dimaksud dapat berkualitas. Komitmen tersebut dituangkan dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) no 20 tahun 2003 pasal
18 ayat 3 yaitu: “Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (M.A), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK) atau berbentuk lain yang sederajat” [2] .
Lebih jelas lagi posisi dan kedudukan pesantren pada pasal 30 ayat 4 dinyatakan
bahwa:“Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain sejenis”[3].
Sebagai lembaga
keagamaan yang berbentuk pesantren dengan jelas posisinya mendapat legitimasi
dari pemerintah sama halnya dengan jenis satuan pendidikan lainnya maka
pesantren mendapat peluang besar untuk dikembangkan dan berinovasi sehingga
tidak ketinggalan zaman dan tidak tereliminasi secara natural, oleh karena
itulah urgensitas format pesantren yang handal perlu digagas termasuk format
kurikulumnya agar dapat layak jual dimasyarakat, dalam pada itulah hadir
tulisan ini dengan tujuan untuk menguak bagaimana menggagas kurikulum pesantren
yang layak uji dan mapan sehingga kopetitif produknya di dalam kancah
globalisasi yang penuh persaingan ini.
B.
Mengenal
Pesantren
Secara
etimologi segmen “pesantren” berasal dari bahasa Sanksekerta yang memperoleh
wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata sant =
orang baik (lk) dengan disambung dengan tra = suka menolong. Santra
berarti orang yang suka menolong.[4]
Jadi “pesantren” berarti tempat membina orang baik.
Pendapat lain,
seperti yang dikutif Wahjoetomo dan Manfred Ziemek, pengertian “pesantren” diturunkan
dari bahasa India yaitu shastri yang berarti Ilmuan yang pandai menulis,
maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang yang pandai menulis baca. Geertz
menambahkan bahwa “pesantren” dimodifikasi dari pura Hindu.[5] Atas pendapat yang hampir sama Steenbrink
merumuskan secara terminologi yaitu:
Secara terminology dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren,
dilihat dari segi bentuk sistemnya berasal dari India. Sebelum proses
penyebaran Islam di Indonesia, system tersebut dipergunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa, Setelah Islam masuk dan tersebar
di Jawa, system tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri
seperti halnya mengaji, bukan berasal dari istilah `Arab melainkan dari
India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau,
rangkeng atau dayah di Aceh, bukan merupakan istilah `Arab, tetapi dari istilah
yang terdapat di India.[6]
Dalam pandangana Nurcholis Madjid, pesantren
dapat dilihat dari dua segi. Pertama pendapat yang mengatakan bahwa pesantren
berasal dari perkataan santri, sebuah kata yang berasal dari Sansekerta
yang berarti melek huruf. Pendapat ini agaknya berdasarkan atas kaum santri
kelas social literacy, yang menurut orang jawa adalah orang yang
berusaha mendalami kitab-kitab bertuliskan dari berbahasa Arab. Kedua pendapat
yang mengatakan bahwa pesantren yang mempunyai kata dasar santri dengan
awalan pe dan akhiran an, sesunggunya berasal dari bahasa Jawa
yang berakar dari kara cantrik, yang berarti seorang yang selalu
mengikuti guru ke mana guru pergi menetap.[7]
Terlepas dari
argument di atas, pesantren ini sebenarnya beremberio dari pola pendidikan
Islam pada masa lalu, ketika Rasul bermukim di Mekkah, beliau Rasul membuka
praktik pendidikan dan pengajaran di Darul Arqam.[8] Di
lembaga ini, para sahabat digembleng tanpa mengenal batas waktu, sehingga lahir
kade-kader militan yang siap mengembangkan Islam ke daerah-daerah kekuasaan
Persia di Timur dan Romawi di Barat dalam kurun waktu 35 (tiga puluh lima)
tahun.
Pondok
pesantren sejak abad ke 15 (lima belas) sudah ada di Indonesia. Sebagaimana
yang telah dinyatakan oleh Amal Fatahullah Zakasy, “pondok pesantren sebenarnya
sudah ada sejak abad ke 15 M. Hal ini dapat dibuktikan dari sejarah keberadaan
pesantren Gelogah Arun yang didirikan oleh Raden Fatah (Raja Demak) pada tahun
1476.[9] Keberadaan
pesantren tidak terlepas dari pengaruh Islam dari Arabia. Ini dikarenakan
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tertua, system pendidikannya mengacu
kepada sejarah murni yang berfungsi sebagaimana terjadi pada zaman atau masa
Rasulullah saw. sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah
dan pengembangan masyarakat muslim Indonesia.
Kemudian dalam
perjalan sejarah pesantren, sebenarnya tidak terlepas dari eksistensi sejarah
pada masa lalu, ketika Rasul mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan
pengajaran Darul Arqom di Mekkah seperti yang disebutkan di atas, setelah
hijrah ke kota madinah pada mulanya sebagai lembaga pendidikan Islam tunggal,
kemudian lahir Al-Kuttab, sehingga sampai kepada masa kejayaan Islam dikenal
lembaga pendidikan Islam yang tersohor seperti Daru al-Hikmah dan Daru al-`Ilm.
Dalam kontek ke
Indonesia-an start awal
pertumbuhan pesantren dimulai dari sejak masuknya Islam ke Indonesia (abad ke
7) sampai pada abad ke 16. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Ensiklopedi
Islam bahwa di antara abad 16 sampai abad 18 menurut laporan pemerintah Belanda
pada tahun 1813 M terdapat sejumlah 1.853 buah lembaga pendidikan Islam
tradisional di Indonesia.[10]
Selanjutnya pada era ini dikategorikan masa perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
Kehadiran
pesantren pada masa perkembangan ini ada kecenderungan kea rah kosmopolit dan
dinamis, hal ini disebabakan karena Belanda telah menguasai kota-kota
perdagangan, dampaknya adalah pesantren terdoring keluar dari kota dan masuk ke
pedalaman dan kemudian menutup diri dari kehidupan duniawi. Setelah itu
pesantren semakin memusatkan perhatian dalam masalah-masalah agama. [11]
Kemdian pada
abad ke 18 sampai sekarang boleh dikatakan fase ini sebut saja dengan fase
modernisasi, sebab menurut Hanun Asroha:
Pasca kemerdekaan, pesantren telah menuju suatu perkembangan yang
luar biasa, dengan berdirinya perguruan di pesantren. Sebenarnya antara
pesantren dan perguruan tinggi terdapat perbedaan, pesantren merupakan fenomena
bercorak tradisional dan mayoritas berada di pedesaan, sementara perguruan
tinggi terdapat di perkotaan dan bersifat modern.[12]
Sejalan dengan
itu pada 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren dengan
mendirikan pesantren mode baru dengan nama Pondok Karya Pembangunan (PKP),
Pondok Meodern Islamic Centre, dan Pesantren Pembangunan.[13] Muculnya
pemodernisasian pesantren tidak terlepas dari pendidikan Islam, di mana pada
permulaan abad 20 terjadi beberapa perubahan dalam Islam di Indonesia yang
dalam garis besarnya dapat digambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan bahkan
pencerahan. Pembaharuan pendidikan Islam ini cukup beralasan karena di berbagai
tempat muncul keinginan untuk kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, selain
dari itu, sifat perlawanan nasional terhadap colonial Belanda, dan juga tidak
terlepas dari dorongan dan usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk
memperkuat organisasinya di bidang social ekonomi baik untuk kepentingan mereka
sendiri maupun untuk kepentingan rakyat banyak. Dan alasan yang paling urgen
modernisasi atau pembaharuan pendidikan Islam itu adalah karena eksitensi dari
pendidikan Islam itu masih banyak orang yang tidak puas, pendidikan Islam yang
nota benenya pesantren terkesan tradisional, hanya mengajarkan kitab-kitab
kalasik dan mengajarkan masalah ke agamaan, ekses dari situasi ini maka pada
abad 20 ini tampaknya ada usaha untuk memperbaiki lembaga pendidikan Islam,
maka muncullah pesantren modern, lembaga pendidikan Islam terpadu, dan
nama-nama lain lembaga pendidikan Islam yang erat kaitannya dengan konsep
pembaharuan pendidikan Islam.
C.
Menguak Kurikulum
Pesantren
Secara literal
kurikulum berasal dari kata curriculum artinya arena perlombaan, kadang
kadang arena itu dibayangkan sebagai arena pacuan kuda yang memiliki garis start-finish
dengan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh joky.[14]
Sementara menurut Herman Horne, secara harfiah kata kurikulum berasal dari
bahasa Latin yaitu a little racecourse maksudnya adalah suatu jarak yang
ditempuh dalam pertandingan olah raga, kemudian ditransfer ke dalam pengertian
pendidikan menjadi cird of instruction artinya suatu lingkaran
pengajaran, di mana guru dan murid terlibat di dalamnya.[15]
Kemudian dalam khasanah pendidikan Islam, Al-Syaibani menuliskan bahwa istilah
kurikulum disebut dengan Manhaj artinya jalan terang yang dilalui oleh
manusia pada berbagai bidang kehidupan.[16]
Dari formulasi
di atas para ahli pendidikan mengadopsi kata kurikulum itu kepada pendidikan,
sehingga dewasa ini ini pemahaman orang terhadap kurikulum itu adalah sejumlah
mata pelajaran tertentu yang harus dikuasai oleh anak untuk mencapai suatu
tingkatan pendidikan, atau juga dapat dikatakan suatu rencana yang disusun
untuk melancarkan proses pembelajarana di bawah bimbingan tanggung jawab
sekolah,
Dalam
pengertian yang lebih luas kurikulum itu dapat diartikan sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa, atau bukan sekedar
rencana pelajaran , tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah.[17]
Dari defenisi ini dapat digambarkan bahwa kurikulum itu adalah keseluruhan
usaha yang terlibat dalam memberikan dan mengembangkan potensi anak termasuk di
dalamnya pendidik atau guru dan masyarakat.
Dari pengertian
di atas dapat dianalisis bahwa dalam konteks sejarah pendidikan, kurikulum pada
awalnya belum dikenal oleh manusia, sekalipun pada saat itu ditemukan semacam
lembaga pendidikan, dalam catatan Webster sebagaimana yang dikutip oleh
S.Nasution bahwa istilah kurikulum
pertama kali ditemukan dalam kamusnya Webster pada tahun 1856,[18]
istilah kurikulum pada saat ini diartikan merupakan suatu jarak yang ditempuh
oleh pelari atau kereta dalam perlombaan dari awal sampai akhir. Kemudian dalam
konteks ke Indonesia-an istilah kurikulum baru kenal pada tahun empat puluhan,
hal ini sebagaimana yang dituliskan oleh Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi,
….guru perlu mempunyai cakrawala yang luas di bidang kurikulum baik kurikulum
masa penjajahan, revolusi setelah merdeka dan masa sekarang.[19]
Dari orientasi
sejarah kurikulum yang disebutkan di atas, tampaknya pemaknaan kurikulum terus
mengalami dinamika dan bahkan dewasa ini para ahli pendidikan dan pengajaran
membedah aliran-aliran kurikulum, aliran-aliran ini merupakan konsep dasar bagi
tenaga pendidikan maupun tenaga kependidikan dalam merancang dan mendesain
konsep kurikulum yang akan di implementasikan dalam sebuah lembaga
pendidikan. Aliran-aliran dimaksud
termasuk aliran progressivesm, essensialism prenialism, rekonstruksionism dan
existensialism.[20]
Dari paradigma
pemaknaan, historis dan aliran-aliran kurikulum itu, dapat digambarkan bahwa
pesantren terkesan tidak memiliki sebuah kurikulum yang dapat diukur, karena
sampai saat ini suatu kenyataan menunjukkan bahwa pesantren kita hanya
berdasarkan mata pelajaran yang di alokasikan pada setiap kelas dan tingkatan,
dan mata pelajaran dimaksud tidak mengalami perubahan, statis dan tidak
mengalami inovasi dari tahun ke tahun, di sisi lain pesantren di nusantara ini
pada hakikatnya kurikulumya berbeda dari pesantren yang satu dengan pesantren
yang lain. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Mastuhu terhadap lima
pesantren, yaitu pesantren Guluk-Guluk, Sukarejo, Blok Agung, Tebuireng,
Pacitan dan pesantren Gontor, ditemukan bahwa setiap pesantren kurikulum yang
mereka pakai tidak sama, artinya kitab-kitab yang mereka gunakan tidak
menunjukkan kesamaan antara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya.[21]
Dari tiga
kejanggalan di atas dapat dianalisa bahwa konsep lembaga pendidikan pesantren
secara pesimistis nyaris tidak punya kurikulum, karena konsep kurikulum itu, mempuyai rumusan dan indicator tertentu serta
didiskripsikan secara jelas dan terukur, lihat saja kurikulum yang dibawah
naungan dinas pendidikan, dari satuan pendidikan tingkat dasar, satuan pendidikan
tingkat menengah atas, jelas konsepnya, di mana kurikulum tersebut mempunyai
diskripsi silabus dan target yang harus dicapai oleh guru dalam mencerdaskan
dan menggali potensi anak.
Menurut
pengamatan penulis, jika idealisasi ini dipertahankan cepat atau lambat lembaga
pendidikan pesantren akan terseleksi oleh alam, dan beberapa tahun kedepan
pesantren tidak jadi idola pendidikan masyarakat. Masalah lain adalah materi
ajar di pesantren adalah berbasis buku atau kitab klasik yang monoton,
kajian-kajian dalam materi ini sungguh tidak adaftif, progressive dan tidak
mengacu kepada kebutuhan anak masa kini dan masa yang akan datang.
Fenomena ini
dapat menimbulkan panitisme beragama karena buku atau kitab yang dipakai adalah
hanya satu literature, anak dijejali dengan doktrin berdasarkan satu argument
tanpa ada penyeimbang antara ide yang satu dengan ide lainnya, pada akhirnya
anak-anak pesantren tidak mampu memahami realitas yang berkembang.
D.
Menggagas
Kurikulum Pesantren
Kurikulum
pesantren bukan tidak mungkin dirumuskan model dan inovasi kurikulumnya,
peluang untuk dinamisasi itu sangat tepat di era ini, baik dari sisi social
kultur masyarakat Indonesia, maupun dari sisi soisial budaya masyarakat bangsa,
apalagi dikaitkan dengan masyarakat kita adalah bangsa yang religious,
yang kecenderungan arah pendidikannya adalah sangat mengedepankan pendidikan
Islam. Dalam konteks yuridis formal secara jelas disebutkan bahwa eksistensi
dan esensi pesantren di dalam Negara ini tidak diragukan lagi kehadirannya,
justeru legalisasi lembaga pendidikan Islam seperti pesantren secara jelas di
tuangkan dalam pasal 30 ayat 4 UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, bahwa “pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera,
dan bentuk lain sejenisnya”.[22]
Berarti menurut
paradigma UU Sisdiknas ini dapat diinterpretasi bahwa pendidikan keagamaan
seperti pesantren mendapat porsi legalitas dalam memberikan kontribusi untuk
mengembangkan potensi anak sehingga terwujud tujuan pendidikan Nasional.[23] Dengan
demikian peluang untuk mendinamisir kurikulum pesantren tergantung pada top manager
dari pimpinan pesantren itu sendiri. Keterbukaan kyai dan pemilik pesantren
sangat diharapkan menangkap peluang ini, pemerintah (dalam hal ini Kementerian
Agama maksudnya) tampaknya sangat kooperatif terhadap pengembangan pendidikan
keagamaan termasuk pesantren di nusantara ini, perhatian Kementerian Agama
terhadap pendidikan keagamaan dapat di lihat bahwa Maftuh Basyumi (mantan
Menteri Agama) mendorog pendidikan keagamaan agar lembaga yang ada di jajaran
Kementerian Agama dapat mengembangkan institusinya sehingga produk dan output
nya memahami lebih baik dalam masalah keagamaan, mereka diharapkan mampu
menjadi orang yang menguasai ilmu dan ahli agama.[24] Harapan
dari pemerintah itu merupakan apresiasi terhadap lembaga pendidikan keagamaan
agar dapat berinovasi secara gradual baik dari segi pengelolaan fisik, managemen,
terlebih-lebih menggagas kurikulum ganda yang refsentatif agar anak siap
memiliki sejumlah pengetahuan agama dan dapat bersaing di dunia lapangan kerja.
Oleh karena itu
tujuan dan arah pengembangan pesantren masa depan diharapkan paling tidak
mengacu kepada tiga elemen penting yaitu: Pertama: Pola kepeminpinan pondok
pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh Negara, Kedua Kitab-kitab rujukan
harus relevan dengan kontek realitas yang berkembang dan Ketiga System nilai (value
system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Dengan berbekal tiga elemen inilah pondok pesantren
dapat melakukan trobasan baru bagaimana seharusnya pesantren yang refsentatif
masa depan.
Khusus masalah value
system kaum santri sebagaimana
Sutejo, harus mempunyai tiga pilihan: pertama, membina dan memelihara
nilai-nilai yang ada dengan caranya masing-masing (konservatif; kedua melakukan
perubahan seperlunya (reformatif) dan ketiga merombak nilai-nilai itu
(transformative).[25]
Barangkali, perinsip modernisasi kaum santri yang paling baik adalah memelihara
hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Dari
paradigma ini dapat ditangkap bahwa tujuan menggagas inovasi kurikulum
pesantren adalah:
1.
Untuk
merekonstruksi profil pesantren yang betul-betul dapat memberikan kontribusi
kepada pendidikan nasional;
2.
Untuk mengubah
prespektif masyarakat bahwa pesantren adalah unik dan eksekulsif;
3.
Untuk
mereformasi tujuan institusional pesantren menjadi lembaga pendidikan yang
memiliki yang sifat terbuka dan siap mengimplementasikan sains dan teknologi;
4.
Untuk
transformasi profil pesantren dari konservatif menuju profil pesantren modern;
5.
Untuk
memberikan peluang terhadap produk pesantren relevan dengan konteks kenian;
6.
Untuk dapat
menjawab tantangan zama yang selalu berubah ubah.
Formulasi
tujuan di atas menggambarkan betapa perlunya takhassus dalam sebuah
pesantren, takhasusus dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada
pesantren memilih ciri khas dari pesantren, sehingga setiap pesantren mempunyai
keunggulan dan dapat mempertahankan keunikan dari pesantren itu sendiri. Dalam
menetapkan dan mencarri format takhassus di sebuah pesantren harus
memprediksi ke depan peluang dan tantangan dari takhassus itu sendiri.
Dalam mengemas discours
di atas tampaknya belum lengkap dan tuntas jika tidak diikat dengan model
kurikulum yang akan diimplementasikan di sebuah pesantren, oleh karena itu
Saifuddin Zuhri menawarkan gambaran kurikulum pesantren masa depan adalah kurikulum
yang mencerminkan keseimbangan proporsional dalam kebutuhan manusia akan
kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat, apresiasi atas potensi akal dan
qalbu, pemenuhan jasmani dan rohani serta keseimbangan antara potensi diri
(internal) dan potensi lingkungan (eksternal).[26]
Dari tawaran inovasi dan gagasan kurikulum pesantren seperti yang disebutkan di
atas maka sabjek kajian kitab kuning dikembangkan tidak lagi terbatas pada
kajian Fikih, Nahu, Sharaf dan Tasauf belaka yang dibaca secara berulang-ulang
dari generasi kegenerasi berikutnya, akan tetapi juga diperluas cakupannya
dengan mengkaji dan menelaah disiplin ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya, baik
berkenan dengan ajaran dasar Islam maupun dengan hasil ijtihad manusia.
Selain itu,
agenda utama lain dalam menggagas perubahan kurikulum pesantren adalah
mengorientasikan pendidikan pesantren pada upaya menumbuh kembangkan intuisi
dan spritualitas santri sebagai penyelarasan dimensi intelektualitasnya. Dengan
demikian peluang terbentuknya intelektual muslim yang memiliki kepekaan
spiritual lebih bisa dimungkinkan lahir dari kalangan pesantren. Bahkan kata
Saifuddin Zuhri, jika melihat potensi besar dari pesantren yakni potensi
pendidikan dan potensi pengembangan masyarakat dan utopis bila pesantren dapat
melahirkan Ulama yang memililki kekuasaan ilmu dan dapat menjawab tuntutan
perubahan social.[27]
Konsep dan
tawaran inovasi kurikulum tadi dapat diraih, asalkan internal pesantren sendiri
melakukan ikhtiar transformasi sistem pendidikannya dengan tetap berpijak
khittah utama pesantren sebagai institusi pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Ikhitiar ini akan berhasil bila keinginan itu dikehendaki dan diupayakan oleh
para tokoh pemukanya. Adanya kemauan dari para tokoh pemuka pesantren untuk
melakukan perubahan system pendidikannya merupakan potensi tersendiri untuk
dapat menjawan tuntutan masyarakat dan zaman kekinian. Begitupun perlu diingat
transformasi kurikulum pesantren belum dapat menjamin santri untuk melahirkan
harapan-harapan di atas. Masih diperlukan pematangan konsep lebih lanjut dan
berkesinambungan dengan keseriusan dan semangat ijtihad dari komunitas di
dalamnya.
E.
Multi Triple
Curriculum (MTC) : Sebuah Model Gagasan Curriculum Pesantren
Dalam merespon
arahan dan gagasan kurikulum pesantren masa depan, perlu tawaran pemataan
kurikulum pesantren. Tawaran dan pemataan kurikulum dimaksud adalah dengan
Model “Multi Triple Curriculum atau
dapat disingkat MTC”.[28]
Multi Triple
Curriculum (MTC) merupakan perpaduan tiga kurikulum unggulan yang dikemas dalam
pesantren dengan pembinaan dan pengembangan system pesantren 24 jam dalam
komplek asrama. Tiga dimensi kurikulum unggulan tersebut adalah:
Pertama; kurikulum
pesantren mengacu pada kemampuan kitab kuning literature sumber kajian syari`at
Islam berbahasa `Arab. Pada kurikulum ini santri dididik menggali kajian
syari`at Islam berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadist langsung dari sumber
aslinya. Mata pelajaran ini langsung diasuh oleh kyai yang profesional yang ada
di pesantren itu. Tampaknya urgensitas pembelajaran kitab kuning di kalangan
pesantren sangat perlu dilestarikan, karena materi yang ada di dalam adalah
outentik, namun demikian pengembangan pembelajaran kitab kuning masih perlu
dilakukan, arah pengembangan dimaksud harus sejalan dengan kecenderungan
intelektual modern. Seperti memodernkan kitan kuning dengan berusaha mencari
pemecahan masalah lebih kompleks karena persoalannya memang rumit dan menyentuh
banyak sisi. Salah satu bentuknya adalah upaya re-aktualisasi pemahaman
kandungan kitan kuning. Dengan demikian inovasi pembelajaran kitab kuning
paling tidak dapat dilakukan beberapa alternative seperti, melalui seminar,
diskusi, halaqah, kuliah umum dan system lain yang di anggap refsentatif sesuai
dengan strategi pembelajaran modern.
Kedua;
kurikulum pesantren modern yang mengacu pada kecakapan berkomunikasi dalam
bahasa dakwah nasional dan bahasa internasional (bahasa `Arab dan bahasa
inggris) materi ini dibimbing oleh praktisi bahasa lulusan bahasa `Arab dan dan
bahasa Inggris. Dengan demikian bahasa yang digunakan di pesantren
diprioritaskan dua bahasa, pengembangan bahasa ini dapat dilakukuan dengan dua
cara; pertama melalui intesifikasi bahasa dengan mewajibkan pemakaian dua
bahasa di lingkungan pesantren, dan kedua pembelajaran secara formal melalui
remedial dengan menetapkan waktu di luar jam pembelajaran.
Ketiga;kurikulum
sekolah umum yang mengacu pada kemampuan skill dan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bidang studi ini diasuh oleh para alumnus sains dan sarjana lain
yang relevan. Pengembangan ketrampilan atau skill praktis, ini menjadi unggulan
pesantren yang berbasis MTC, guna membekali para santri untuk dapat mandiri di
era globalisasi. Ini dapat dilakukan seperti mempelopori home indutri,
mempelopori masalah teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan teknologi
tepat guna, pengembangan materi pembelajaran eksakta dan ilmu pengatahuan alam.
F.
Penutup
Gagasan
pembinaan dan pembaharan kurikulum pesantren sangat diperlukan dengan karena
jika dipertahankan eksitensi pesantren akan menimbulkan kejumudan dan
eksekulsif pesantren itu sendiri, olej karena itu pembinaan dan pembaharuan
kurikulum pesantren bertujuan agar pesantren mendapat legitimasi masyarakat dan
produk pesantren itu selain alumninya memiliki pengetahuan keagamaan yang
handal, menjadi ulama dan intelektual muslim diharapkan juga pesantren memiliki
pengetahuan ganda yang seimbangan antara pengetahuan duniwawi dan ukhrawi.
Keraguan dan
kegamangan pembinaan dan pembaharuan kurikulum pesantren sudah bisa ditepis
lewat kibijakan dan peraturan perundang-udangan yang berlaku, oleh karenan itu
pesantren ke depan mendapat peluang yang sangat besar dalam pengembangan
intitusinya menjadi sebuah lembaga yang refsentatif di nusantara ini.
Arah dan
pengembangan pesantren paling tidak diupayakan merekonstruksi system pesantren
di mulai dari kyai, managemen, proses pembelajaran, sarana dan prasarana serta
pemberdayaan guru yang professional.
Model dan
labelisasi serta pemetaan pembinaan dan pembaharuan kurikulum pesantren adalah
kurikulum berbasis MTC atau Multi Tripel Curriculum, artinya kurikulum
yang memproritaskan tiga keunggulan yaitu, keunggulan trdisional pesantren,
keunggulan bahasa dan keunggulan ilmu pengetahuan sain/teknologi
DAFTAR BACAAN
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam Dalam Prespektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992
Alfin Tofler, The Third Wave, New York:
William Morrow and co. 1980
Amal Fatahullah Zarkasy, (Pondok Pesantren Sebagai Lembaga
Pendidikan Dakwah) dalam buku Adi Sasono dkk, Solusi Islam atas
Problema Umat, (Ekonomi Pendidikan dan Dakwah) Jakarta: Gema Insani,
1998
Anwar Arifin, Undang-Undang Sistem Penddikan Nasional, Jakarta,
DEPAG RI, 2003
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam
UU Sisdiknas, Jakarta: DEPAG RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam;, 2003
Clifton F.Conrad, The Andergraduate Curriculum: A Guede to
Innovation and Reform, Bouder: Colorado, Westview Press, 1978
Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999
Herman H.Horne, An Idealistic Philosophy of Education, Chicago:
The University Chicago, 1962
Iskandar Wiryokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1998
John Naisbit, dan Patrica Aburdene, Mega Trend 2000 Ten New
Direction for fhe 1990s, William Morrow and Company; INC New York 1990.
Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan
Islam Dalam Kurun Modern, cet. ke 2 Jakarta: LP3S, 1994
Majalah, Ikhlas Beramal, No. 58 tahun XII Agustus 2009, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2009
Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, Suatu Kajian tentang
Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Indonesian
Netherlands Coorperation ini islamic Studies (INIS) 1994
Matulada, dkk. Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: CV.
Rajawali Press, 1983
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasial, Surabaya: Usaha Nasional, 1996
Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru, Van Hoeve, 1994
Nasution S., Asas-Asas
Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Sebuah Potret Perjalanan
( Jakarta: Paramadina, 1997
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam (Suatu Kajian Tentang
Sistem Pendidikan Pesantren Salaf Dalam Menghadapi AFTA 2003) Banda Aceh,
PPS. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tesis,2000
Sutejo, Dalam Buku Pesantren Masa Depan, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif
Masa depan, Jakarta: Gema Insani, 1997
[1] .
John Naisbit, dan Patrica Aburdene, Mega Trend 2000 Ten New Direction for
fhe 1990s, (William Morrow and Company; INC New York 1990), hal. 24.
Globalisasi juga disebut global village maksudnya kawasan regional menjadi suatu keluarga, dan dunia bertukar menjadi
satu kampus. Lihat; Alfin Tofler, The
Third Wave, (New York: William Morrow
and co. 1980) hal. 25
[2]. Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru
Pendidikan Nasional Dalam UU Sisdiknas, (Jakarta: DEPAG RI Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam;, 2003), hal. 42
[3].
Ibid. hal. 47
[4].
Matulada, dkk. Agama dan perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali Press,
1983), hal. 328
[5].
Menurut Manfred Ziemek, “ pesantren” lazim diawali oleh kata pondok. Pondok itu
sendiri berasal dari Funduq (bahasa `Arab) yang berarti ruang tidur atau
wisma sederhana. Karenan pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana
bagi para pelajar dari tempat asalnya. Lihat Wahjoetomo, Perguruan Tinggi
Pesantren Pendidikan Alternatif Masa depan, (Jakarta: Gema Insani, 1997),
hal 70
[6].
Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam
Kurun Modern, cet. Ke 2 (Jakarta: LP3S, 1994), hal. 20
[7].
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Sebuah Potret Perjalanan (
Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20
[8]
Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam (Suatu Kajian Tentang Sistem
Pendidikan Pesantren Salaf Dalam Menghadapi AFTA 2003) (Banda Aceh, PPS.
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tesis,2000), hal. 63
[9].
Amal Fatahullah Zarkasy, (Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Dakwah)
dalam buku Adi Sasono dkk, Solusi Islam atas Problema Umat, (Ekonomi
Pendidikan dan Dakwah) (Jakarta: Gema Insani, 1998), hal. 106. Data lain
penulis peroleh tetang keberadaan pesantren di Indonesia, bahwa pesantren baru
diketahui pada permulaan abad ke 16 M. Pada abad ini dapat dijumpai pesantren
besar yang mengajarkan kitab Islam klasik. Lihat Ensiklopedi Islam jilid
4,( Jakarta : Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1994), hal, 99
[10]. Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4,
(Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1994), hal. 101
[11].
Hanun Asroha, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 184
[12]. Pesantren
yang mulai merintis Perguruan Tinngi di antaranya adalah Pesantren Darul Ulum
Jombang Pada akhir tahun 1965, pesantren ini mendirikan Universitas Darul Ulum.
Lihat Hanun Asroha, Ibid. hal 190
[13]
Nah-sya, Ensyiklopedi Islam, Jilid 4, Ibid, hal. 102
[14]. Clifton F.Conrad, The Andergraduate
Curriculum: A Guede to Innovation and Reform, (Bouder: Colorado, Westview
Press, 1978), hal. 4
[15].
Herman H.Horne, An Idealistic Philosophy of Education, (Chicago: The
University Chicago, 1962), hal. 158
[16].
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hal 478
[17].
Ahmad Tafsirm Ilmu Pendidikan Islam Dalam Prespektif Islam, (Bandung:
Rosdakarya, 1992), hal. 53
[18]. S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal.2
[19] .Iskandar
Wiryokusumo, Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1998), hal. 92
[20].
Progressivism, merupakan aliran yang berpendapat bahwa kurikulum yang tepat
adalah mempunyai nilai –nilai edukasi, dan bentuk kurikulum yang diinginkan adalah harus sesuai
dengan konteks kekinian untuk bekal anak masa depan, essensialism, aliran ini
berpendapat bahwa kurikulum yang rancang harus memandang bahwa pendidikan itu
sebagai pemeliharaan kebudayaan, berarti content kurikulum harus sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang pada masayarakat bangsa setempat, lain pula pandangan
prenialism, muatan kurikulum seharusnya kembali kepada masa lalu yang pernah
jaya dan pasti sudah teruji, sementara rekonstruksionism berpendapat bahwa arah
dan konsep kurikulum berusaha membina suatu consensus yang paling luas,
berkeinginan merombak tata susunan kurikulum lama dan membangun susunan dan konsep
yang baru sesuai dengan realitas berkembang, dan terakhir eksitensialism,
aliran ini mengutamakan factor individu dan potensi anak, oleh karena itu
kurikulum tidak perlu kaku, biarkan anak itu mencari identitasnya. Lihat Muhammad
Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasial,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hal. 223, 252, 254, 296,329, 331 dan 341
[21].
Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,(Jakarta: Indonesian Netherlands
Coorperation ini islamic Studies (INIS) 1994), hal. 55
[22].
Anwar Arifin, Undang-Undang Sistem
Penddikan Nasional, (Jakarta, DEPAG RI, 2003), hal. 47
[23] Tujuan Pendidikan Nasional, secara jelas di
sana digambarkan pada BAB II Pasal 3 “Pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Lihat UU Sisdiknas … Ibid. hal. 37
[24]. Majalah,
Ikhlas Beramal, No. 58 tahun XII Agustus 2009 (Jakarta: Departemen Agama RI,
2009), hal.35
[25].
Sutejo, Dalam Buku Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1999), hal. 77
[26].
Saifuddin Zuhri, Dalam Buku Pesantren Masa Depan…Ibid , hal. 205
[27]. Saifuddin Zuhri, Ibid. hal 206
[28].
Multi Triple Curriculum (MTC) adalah hasil kajian penulis dalam thesis
PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lihat,
Samsuddin, Paradigma Pendidikan Islam,… Op-Cit. hal. 124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar