PENDIDIKAN ISLAM
DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA INSANI (SDI)
(SEBUAH PEMIKIRAN MENURUT
IBNU KHALDUN)
Oleh:
Drs.Samsuddin M.Ag
(Dosen Strategi Belajar STAIN
Padangsidimpuan)
ABSTRASI
Setidaknya ada tiga hal
yang penting dicatat jika kita mengangkat pemikiran Ibnu Khaldun, pertama tokoh
ini jarang mendapatkan tempat di tengah-tengah para ulama konvensional, kedua
para pemikir Islam semakin mendapat tempat di kalangan para sarjana modern di
mana mereka telah berkenalan dengan studi Islam yang mencoba mendekatinya
melalui pisau analisis ilmu-ilmu social,ketiga masih banyak pemikiran Ibnu
Khaldun yang belum tersentuh oleh para peminat studi Islam, sebab Ibnu Khaldun
memang selalu memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya dalam mendalami studi
Islam.
Oleh karena itu sangat
wajar jika Ibnu Khaldun sering disosialisasikan ketiak membahas pemikiran
sejarah dan sosiologi Islam pada era klasik. Karya Ibnu Khaldun merupakan
referensi utama yang amat kaya dan memuat berbagai ulasan sejarah, social dan
kebudayaan masyarakat.
Dengan demikian untuk
membuka cakrawali pemikiran kita Ibnu Khaldun bukan saja tokoh sejarawan tapi
ia sangat intens dan komperhenshif dalam memilki ilmu pengetahuan, sehingga ia
mendapat guru besar dalam kontek kekinian ia disebut sebagai Profesor. Dengan
keluesan ilmu pengetahuannya inilah kita membuka tabir untuk mendiskripsikan
sedikit tentang paradigmanya terhadap pengembangan Sumber Daya Insani. Ternyata
cukup mengagungkan bahwa Sumber Daya Insani yang berkualitas itu diidentifikasikan
dengan Insan saleh.
Kata-Kata Kunci
Ibnu Khaldun, Sumber Daya Insani, Fithrah,
Sosiolog, Pendidikan dan Pengajaran, Waliullah, Aqliyah, Naqliyah, Insan Saleh
dan Masyarakat Saleh
A.
Pendahuluan
Pemikiran dan teori-teori politiknya Ibnu Khaldun yang
sangat maju dan modern telah mempengaruhi karya-karya para pemikir politik
terkemuka sesudahnya, seperti Machiavelli dan Vico. Ia mampu menmbus ke dalam
fenomena sosial sebagai filosuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya dan Ibnu
Khaldun sangat popular dengan ahli sosilog, disiplin ilmu ini diawali dengan
analisis karyanya yang spektakuler Mukaddimah
Ibnu Khaldun[1].
Kecermelangan pemikiran Ibnu Khaldun membuahkan hasil
yang pantastis di dalam komunitas masyarakat di zamannya, hal ini dapat di
buktikan dengan mampunya Ibnu Khaldun mengubah pemikiran masyarakat Mesir yang corrup menjadi humanis dan memiliki
kecerdasan social yang tinggi, usaha ini ia lakukan dengan masuknya Ibnu
Khaldun ke dunia birokrat dengan diamanahkan kepadanya menjadi hakim (qadhi) di Cairo, dari ranah inilah
beliau mengendalikan moral masyarakat dengan menjadikan dirinya menjadi teladan
seorang yang adil dalam penegakan hokum, cerdas, dan tidak tebang pilih.
Jejak seorang Ibnu Khaldun selain ahli di bidang fiqh, Ibnu Khaldun juga seorang ahli
pendidik yang mempunyai kompetensi unggul, teori dan temuan-temuannya dalam
bidang pendidikan sangat berguna bagi generasi sesudahnya, temuan Ibnu Khaldun
yang paling popular dalam bidang pendidikan adalah pandangan beliau tentang
Sumber Daya Insani. Dalam soroton Ibnu Khaldun manusia adalah fithrah yang terlibat dalam aksi pertarungan social antara
sesama manusia, alam dan dunia transcendental,
manusia bukan produk warisan nenek moyang tetapi produk sejarah yang hakikinya harus
berkembang dan dikembangkan sehingga dapat bertanggung jawab pada dirinya
sendiri dan lingkungan social[2]. Dengan
pemikiran Ibnu Khaldun yang cukup ensiklopedis ini maka para ahli memberikan
nama lain kepada tokoh yang satu ini “seorang pemikir multi dimensional ilmu
pengetahuan”.
Dari jejak Ibnu Khaldun ini sesunggunya banyak yang
harus dibongkar hasil pemikirannya sehingga dapat diaktualisasikan dalam aspek
kehidupan, salah satu pemikiran Ibnu Khaldun itu yang sangat penting untuk
dibongkar adalah bagaimana pandangan Ibnu Khaldun terhadap Sumber Daya Insani
(SDI). Dengan terkuaknya rahasia Sumber Daya Insani (SDI) akan semakin mudah
memberikan tuntunan kepada anak dan menjadi acuan bagi pendidik untuk
meletakkan dasar-dasar pendidikan dalam mewujudkan manusia berkualitas, unggul
dan berkrakter sehingga jadilah manusia yang mampu melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dengan pendekatan analisis konten yang sistematis dan
filosofik diharapkan akan terungkap pandangan Ibnu Khaldun terhadap Sumber Daya
Insani (SDI). Tentunya keterbatas tulisan ini akan menjadi acuan bagi peniliti
berikutnya sehingga terungkap dan jelas bagaimana nukilan emas Ibnu Khaldun
ketika dia menceburkan dirinya ke ranah ilmu pengetahuan. Inilah urgensitas
tulisan ini hadir di hadapan pembaca agar sosok Ibnu Khaldun dapat dijadikan
sebagai acuan dan referensi dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada
anak.
B. Mengenal Sekilas
Biografi Ibn Khaldun
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin
Ibn Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332.[3] Abdurahman
nama panggilan waktu kecilnya, nama panggilan keluarganya adalah abu Zaid yang
diambil dari nama puteranya yang sulung yaitu Zaid. Menurut Warul Walidin dalam
bukunya Konstlasi Pemikiran Paedagogik Ibnu
Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Ibnu Khaldun mempunyai gelar/laqob yang sering
dipanggil orang adalah dengan gelar Waliuddin, gelar ini dia peroleh ketikan
dia memangku jabatan hakim di Mesir. Selain dari gelar itu tokoh yang satu
mendapat gelar Syekh atau guru besar dalam konteks kekinian setara dengan
Profesor[4].
Khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang
sedikit tertarik dengan persoalan politik. Ia biasa berjumpa dengan tokoh
intelektual dari Afrika Utara dan Spanyol yang sebagian besar adalah pengungsi
dari kekhalifahan timur. Pendidikannya dilalui di Tunisia dan Fez (Maroko)
dengan mempelajari berbagai ilmu: menghafal Alqur’an, mempelajari tata bahasa,
hukum Islam, hadis, retorika, fiologi dan puisi. Selain itu, ia mempelajari
sastra Arab, filsafat, matematika dan astronomi.
Kariernya di bidang politik membawanya keluar masuk
istana, baik berbagai pemenang maupun pecundang. Usia mudanya dihabiskan
sebagai pendamping, penasihat sultan serta menduduki aneka jabatan. Pada umur
19 tahun, ia mulai mengabdi pada Ibn Tafrakin, penguasa Tunis. Selanjutnya pada
tahun 1362 Ibn Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di
Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, raja
Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari
bekerja oleh penguasa Kristen itu.[5]
Dan pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandariah. Tetapi
dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Raja dan rakyat mesir yang cukup
mengenal reputasi Khaldunlah yang menyebabkan ia tidak melanjutkan perjalanan
hajinya. Di Daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua mahkamah agung
dibawah pemerintahan dinasti Mamluk.
Dengan jabatannya yang terakhir, ia bukan saja
mengalami masalah yang sama seperti yang dihadapi di Granada dan Aljazair,
tetapi juga telah menyebabkan ia kehilangan keluarga dan harta bendanya.
Musibah semacam ini, di samping membuat ia semakin ta’at, juga telah
membangkitkan kembali niat untuk menunaikan iabadah hajinya. Niat itu baru
terlaksana tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1387. namun, untuk hidup
tenang di Kairo setelah pulang haji tidak tercapai. Sebab, kemampuannya yang
luas itu telah mengundang Sultan Mamluk untuk memanfaatkannya. Bersama-sama
dengan hakim dan ahli-ahli hukum lainnya ia dibawa Sultan ke Damaskus, kota
yang terancam gempuran tentara Timur Lenk.
Damaskus tidak dapat dipertahankan dan Sultan bersama
dengan tentaranya mundur ke Mesir. Namun, Khaldun dan beberapa orang terkemuka
lainnya tetap tidak pulang. Ia diserahi tugas berunding mengenai penyerahan
kota itu ke tangan Timur Lenk. Di tangan Timur Lenk, Damaskus dihancurkan.
Tetapi Khaldun berhasil menyelamatkan bukan hanya dirinya, melainkan juga
beberapa orang terkemuka, anggota tim terunding ke Mesir. Pada suatu riwayat
sebagaimana yang dituliskan dalam Ensiklopedi Islam, perjalanan hidup Ibnu
Khaldun penuh dengan kecemerlangan Ia pernah berjumpa dengan penakluk Mongol
(Timur Lank) pada tahun 1401 M diluar perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol
tersebut menyambut dan menawarkan ilmuan ini sebagai pejabat pemerintahan.[6] Akan
tetapi tidak tahu alasan jelas Ibnu Khaldun memilih kembali ke Kairo dan
melanjutkan pekerjaannya sebagai Waliullah
(Qadhi), akhirnya di sinilah Ia menghabiskan sisa umurnya sampai dipanggil
oleh Allah kehadirat-Nya, pada tahun 1406 dalam usia 74 tahun, bersama jabatan
yang dipegangnya.[7]
Dengan demikian tokoh yang memiliki multi dimensional ilmu pengetahuan ini, tetap
seorang besar di Mesir. Sebab, tidak lama kemudian ia kembali pada jabatannya
semula sebagai ketua Mahkamah Agung. Dari
latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun secara sederhana dia menghabiskan waktu
nya di bagi kepada beberapa fase, mulai dari fase pendidikan, explorasi,
artikulatif, politik, dan fase birokratif.
C. Konsep
Pendidikan dan Pengajaran Ibn Khaldun
1. Pandangan Tentang Manusia Didik
Konsep manusia menurut Ibn Khaldun adalah. Ia mempunyai
asumsi-asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang Ia peroleh dalam
ajaran Islam konsepsi-konsepsi kemanusiaannya adalah hasil dari identivikasi
upaya intelektual Khaldun untuk membuktikan dan memahami asumsi Alqur’an
tersebut lewat gejala dan aktivitas kemanusiaan.
Menurut Ibnu Khaldun berpendapat bahwa manusia
memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Karena manusia
disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan
kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat
membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari
keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan
masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam mengahasilkan
sesuatu yang tidak dapat di capai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti
diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah
yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka
perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.
Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam
proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus
sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai
pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhakan
ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidangilmu
atau disiplin ilmu memerlukan pengajaran. Pemikiran lain yang dilontarkan Ibnu
Khaldun termasuk bahwa manusia secara ensensial adalah bodoh. Manusia itu
cerdas dan berilmu disebabkan hasil pencarian manusia itu terhadap ilmu
pengetahuan, inilah yang membedakan manusia dengan binatang atau hewan lainnya.
Sebelum tahapan ini manusia identik dengan hewan, mulai dari proses awal sampai
manusia itu lahir ke dunia ini, manusia tidak membawa sesuatu ketika dilahir
atau tidak tahu sama sekali apa-apa, manusia
tidak berdaya oleh karena itu manusia sangat membutuhkan orang lain tapi dengan
proses pencerapan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh manusia bisa mencapai
kesempurnaan kuat perkasa dan mampu menaklukkan dunia, justeru itu kesempunaan
manusia itu tergantung kepada moral dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.[8]
Ibnu Khaldun juga berpandangan bahwa manusia adalah
sebagai khalifah di muka bumi ini, Allah membekali manusia dengan akal pikiran
sebagai daya positif untuk melakukan perbuatan yang baik, sehingga manusia ini
mampu mengatur dan mengolah sumber daya alam untuk kepentingan dan kelangsungan
hidup manusia agar manusia dapat bahagia dan sejahtera. Sifat fithrah berpikir
manusia yang diberikan oleh Allah selanjutnya mampu menemukan sains dan
teknologi, kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupan manusia
sukses sebagai khalifah tetapi membuat kehidupan manusia dapat bermakna yang
pada akhirnya proses yang semacam ini akan melahirkan peradaban baru dan modern
di tengah-tengah kehidupan manusia.. Sifat-sifat seperti inilah yang tidak
dimilliki oleh makhluk lain.[9]
2. Pandangan Tentang Ilmu
Ibnu Khaldun mengatakanbahwa adanya perbedaan lapisan
sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Hal
ini berbeda dengan apa yang di duga oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa
perbedaan ini bersumber pada perbedaan hakikat kemanusiaan.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Alqur’an adalah ilmu
yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Alqur’an
kepada anak termasuk syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama
dan dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam. Alqur’an yang telah ditanamkan
pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa
anak-anak masih mudah, karena otak si anak masih jernih. Ilmu yang diajarkan
kepada anak menurut Ibnu Khaldun harus ditanamkan kepada dua hal penting,
pertama ilmu yang bersifat naqliayah
(tekstual) dan kedua ilmu yang bersifat aqliyah
(rasional).[10]
Sejalan dengan Ibn Khaldun untuk mempertegas pandangan
Kholdun tentang ilmu, maka membagi ilmu
itu menjadi tiga bagian kelompok yaitu:
a.
Kelompok ilmu lisan (bahasa); ilmu tentang tata bahasa,
sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b.
Kelompok ilmu naqli; ilmu yang diambil dari kitab suci
dan Sunnah Nabi.
c.
Kelompok ilmu aqli; ilmu-ilmu yang diperoleh manusia
melalui kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui panca
indera dan akal.[11]
Dengan demikian ilmu tidak lain adalah merupakan
gejala social yang menjadi cirri khas jenis insani. Di dalam kita Mukaddimahnya
Kholdun tidak memberikan defenisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan
gambaran secara umum, seperti halnya yang dikatakan Ibnu Khaldun:
Barang siapa
tidak terdidik orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barang
siapa yang tidak memperoleh tatakrama yang
sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang
mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka,
maka ia kan mempelajarinya dengan bantuan alam dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarinya. Artinya pengaruh lingkungan
dominan akan membangung karakter anak dan kebiasaan karakter itulah akan
menjadi satu kesatuan dari hidupnya.[12]
Dari
kutipan di atas jelaslah bahwa pandangan Ibnu Khaldun terhadap ilmu pengetahuan
suatu hal yang fithrah dimililki oleh manusia, tanpa ilmu pengetahuan manusia
akan salah arah, ilmu pengetahuan ibarat kompas dalam kehidupan yang menuntun
manusia ke arah timur atau kea rah barat.
Oleh karena orangtua dan guru harus bekerja keras untuk memberikan ilmu
kepada anak agar generasi berikut dapat mempertahan hidupnya.
3. Tujuan pendidikan dan
Pengajaran
Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan dan pengajaran beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara
tujuan pendidikan dan pengajarab tersebut adalah:
a.
Tujuan meningkatkan pemikiran peningkatan kecerdasan
manusia dan kemampuannya berpikir, manusia akan dapat meningkatkan
pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada
saat belajar.
b.
Tujuan peningkatan kemasyarakatan bertujuan
meningkatkan segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong
teciptanya tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
c.
Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah
denganmeningkatkan kerohanian manusia dengan praktek ibadah, zikir, khalwat
(menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk
bertujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.
Sejalan dengan itu secara operasional Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa ada tiga tingkatan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan dan pengajaran,
yaitu sebagai berikut:
a.
Pengembangan kemahiran (Al-malalah atau skill)
dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang
suatu persoalan ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah atau skill tidak bisa dimiliki oleh setiap orang kecuali
setelah dia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin ilmu tertentu.
b.
Penguasaan ketrampilan profesional sesuai dengan
tuntutan zaman dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh
ketrampilan yang tinggi dalam profesi.
c.
Pembinaan pemikiran yang baik, kemampuan berfikir
merupakan garis pembeda antara manusia dengan binatang, oleh karena itu
pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan
potensi-potensi psikologis peserta didik.[13]
Maka atas dasar tujuan di atas Ibnu Khaldun
berpradima bahwa pendidikan dan pengajaran adalah memberikan kesempatan kepada
pikiran anak untuk aktif dan bekerja, karena di memandang aktivitas ini sangat
penting bagi terbukanya piliran dan kematangan individu
E. Sumber
Daya Insani: Versi Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun sumber daya insani itu memiliki lima unsur penting yang bisa
membuat power atau kekuatan bagi
manusia, lima unsur dimaksud terdiri dari akal kreatif, keterampilan,
kerjasama, kewibawaan dan kedaulatan. Kelima unsur tersebut harus dimiliki
seseorang apabila ingin mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah komunitas
masyarakat dunia yang terus maju dan berkembang. Dalam Alqur’an tidak ada kata
yang tepat untuk istilah Sumber Daya Insani kecuali hanya “Ibaad Shaalihun” manusia
yang memiliki sumber daya. Beberapa ayat Alqur’an antara lain menyebutkan:
“Bahwasanaya bumi ini diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh (memiliki sumber
daya insani)”. (QS. 21: 105). “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang berimana diantara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. (QS. 24: 55). Keteladanan
dan moral yang tinggi yang dimiliki manusia pada prinsipnya merupakan
pencerminan dari kualitas sumber daya insani yang baik. Sebaliknya jika manusia
memilili prilaku buruk dan tidak terpuji maka prilaku itu menggambarkan bahwa
kualitas sumber daya insan rendah.[14]
Pegembangan atau peningkatan Sumber Daya Insani berarti sama halnya memberikan pendidikan
kepada manusia agar memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, semakin tinggi ilmu
pengetahuan seseorang akan semakin tinggi Sumber Daya Insani-nya, selanjutnya
manusia akan menciptakan peradaban baru yang mempunyai karakter unggul dalam
kehidupan sehari-hari. Ibn Khaldun mengatakan
mengenai peradaban (hadarah) melihat unsur-unsur pokok peradaban itu
sebenarnya ada tiga yaitu manusia, tanah
atau tempat dan waktu. Sama halnya dengan unsur kimia yang membentuk air, yaitu
H2O. tetapi H2O di suatu tempat dan waktu
yang bersamaan tidak sekaligus menciptakan zat cair. Harus ada semacam pemakin
yang membawa kepada persenyawaan H2O itu untuk menjadi air. Begitu juga dengan manusia, tempat dan
waktu tidak sekaligus mencipta peradaban. Ada kaum-kaum yang tidak pernah
mencipta peradaban dalam sejarah kemudian hilang begitu saja tidak di kenal
asal usulnya.
Setelah Islam bangkit, keadaan berubah sama sekali,
kaum-kaum yang tadinya berperang, sekarang bersatu padu dan tolong-menolong
sehingga mereka dapat menciptakan suatu peradaban universal yang tersebar ke
seluruh pelosok dunia. Jadi fungsi agama di sini adalah sebagai katalis
terhadap tiga unsur peradaban tadi.
Dari tiga unsur peradaban yang kita sebutkan di atas
yaitu manusia, waktu dan tempat, maka manusialah menjadi unsur pokok yang
sekaligus menjadi subyek dan obyek bagi kesinambungan hidup diatas planet kita
ini semenjak Adam dan Hawa bertempat di atasnya sampai kepada kita sekarang
sebagai penerima wahyu terakhir dari Adam as. Sampai Muhammad Saw yang telah
dipikul oleh tidak kurang dari 134.000 Rasul dan Nabi. Oleh sebab itu baiklah
kita renungkan ayat-ayat Alqur’an berkenaan dengan pengutusan Nabi dan Rasul
semenjak Adam as. Sampai Muhammad Saw.
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat
manusia sebab kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungakr dan
beriman kepada Allah”. (QS. 3:10). Tujuan yang ingin di capai oleh pendidikan
Islam dapat meringkaskan dalam dua tujuan pokok: masyarakat yang salehdan
beriman kepada Allah dan agama-Nya dan pembentukan masyarakat yang saleh yang
mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannya.
a. Pembentukan Insan Saleh
Insan saleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan
dengan kata lain pengembangan manusia yang menyembah dan bertakwa kepada Allah.
“ Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah
kepada-Ku”. (QS. 51: 56), manusia yang penuh keimanan dan takwa, berhubungan
dengan Allah memelihara dan menghadap kepada-Nya dalam segala perbuatan yang
dikerjakan dan segala tingkah laku yang dilakukannya, segala pikiran yang yang
tergores dihatinya dan segala perasaan yang berdetak dijantungnya. Ini adalah
manusia yang mengikuti jejak langkah Rasul Saw dalam pikiran dan perbuatannya.
Insan saleh beriman dengan mendalam bahwa ia adalah
khalifah di bumi. “ Aku ciptakan di bumi khalifah”. (QS. 2: 30). Ia mempunyai
risalah ketuhanan yang harus dilaksanakannya, oleh sebab itu ia selalu menuju
kesempurnaan walaupun kesempurnaan itu hanya untuk Allah saja. Salah satu aspek
kesempurnaan itu adalah akhlak yang mulia, sebab Rasul Saw bersabda: “ Aku
diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Di antara akhlak insan yang saleh dalam Islam adalah
harga diri, prikemanusiaan, kesucian, kasih sayang, kecintaan, kekuatan jasmani
dan rohani, menguasai diri, dinamisme dan tanggungjawab. Ia memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang yang mungkar.
b. Pembentukan Masyarakat Saleh
Masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa
ia mempunyai risalah untuk umat manusia, yaitu riasalh keadilan, kebenaran dan
kebaikan, suatu risalah yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor
waktu dan tempat. Firman Allah “ Kamu adalah ummah terbaik yang pernah di utus
bagi umat manusia, sebab kamu mengajar kepada kebaikan dan melarang dari
kejahatan”.(QS. 3:10). Masyarakat Islam berusaha sekuat tenaga memikul
tanggungjawab yang dibebankan kepadanya kapan-kapan dan dimana aja. Tugas
pendidikan Islam adalah menolong masyarakat mencapai maksud tersebut.
Selanjutnya tugas pendidikan Islam, antara lain:
- Menolong masyarakat membangun hubungan-hubungan sosial yang serasi, setia kawan, kerja sama, interpenden dan seimbang.
- Mengukuhkan hubungan dikalangan kaum Muslimin and menguatakan kesetia kawannya melalui penyatuan pemikiran, sikap dan nilai-nilai.
- Menolong masyarakat Islam mengembangkan diri dari segi perekonomian yang bermakna: berusaha memperbaiki suasana kehidupannya dari segi material dengan memerangi kejahilan, kemiskinan dan berbagai macam penyakit.
- Memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat Islam, maksudnya penyesuaian dengan tuntutan kehidupan modern dengan memelihara identitas Islam. Sebab, Islam adalah agama yang sesuai untuk segala tempat dan waktu.
- Mengukuhkan identitas budaya Islam, ini dapat dicapai dengan pembentukan kelompok-kelompok terpelajar, pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan yang:
a.
Bersemangat Islam, sadar dan melaksanakan ajaran
agamanya, sangat prihatin dengan peninggalan peradaban Islam, disamping bangga
dan bersedia membelanya bermati-amtian, sehingga karya-karyanya mempunyai corak
Islam sejati.
b.
Menguasai sains dan teknologi modern dan bersifat
terbuka terhadap peradaban dan budaya lain.
c.
Bersifat produktif: mengarang, membuat karya inovatif,
dapat menyelaraskan potensi-potensi yang ada, dan membimbing orang-orang lain.
d.
Bebas dari ketergantungan kepada orang atau budaya
lain, begitu juga dari sifat taklid buta.[15]
Dalam versi Ibnu Kholdun Sumber Daya Insani menurut Islam tidak diartikan sebagai suber
daya, tidak diartikan sebagai sumber daya yang menghasilkan ilmu pengetahuan
dan teknologi tinggi, dapat membawa kepada keunggulan politik, dapat menguasai
dan mengelola sumberdaya alam yang dapat membawa kepada kemampuan ekonomi atau
dapat mengatur dan menguasai kehidupan masyarakat seluruh dunia, akan tetapi
mempunyai pengertian yang jauh lebih luhur yaitu “insan dan segala
keutuhannya”.
Sumber Daya Insani juga tidak dipandang sebagai faktor produksi
yang setara dengan Sumber Daya Insani adalah makhluk Allah yang utama dan sempurna
dalam segala halnya. Manusia mempunyai daya (potensi) yang bersumber dari
jasmani, akal, hati dan nafsu. Manusia juga mempunyai daya yang bersumber dari
luar yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kualitas daya yang ada pada
dirinya, yaitu hidayah Allah dan alam lingkungan.
Dengan demikian, Sumber Daya Insani menurut Islam dengan tegas Ibnu Khaldun
mengatkan adalah segenap daya yang ada dalam diri manusia yaitu jasmani, akal,
hati dan nafsu yang kualitasnya dapat diukur dengan kekuatan fisik, daya nalar,
keteguhan iman, keterampilan dan keshalehan amaliah, nafsu madhiyah dan
keutamaan moral (akhlak karimah) itulah ibaad shaalihuun.[16]
Manusia di ciptakan oleh Allah Swt dalam rangka
khalifah di muka bumi, halini banyak di cantumkan dalam Alqur’an dengan maksud
agar manusia dengan kekuatan yang demikiannya mampu membangun dan memakmurkan
bumi serta melestarikankannya. Untuk mencapai derajat khalifah di muka bumi ini
di perlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut di tandai dengan
pendidikan yang di muali sejak buaian sampai keliang lahat.
Pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan
manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber Daya
Insani adalah daya yang bersumber dari
manusia yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Investasi Sumber
Daya Insani sebagai anggota masyarakat
yang di perlukan adalah karakteristik sebagai berikut: manusia berwatak, cakap
dan inteligensi, entrepreneur (wiraswasta), dan kompetitif.
F. Penutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan an bahwa Nama
lengkapnya Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin
Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibn Khaldun. Lahir di
Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332. Ia meninggal pada tahun 1406 dalam
usia 74 tahun, bersama jabatan yang dipegangnya. Konsep pemikiran yang di
kemukakannya nampak sangat di pengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia
sebagai makhluk yang harus di didik, dalam rangka melaksanakan fungsi sosialnya
di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang
agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Pemikiran Ibn Khaldun tentang
Pendidikan Islam.
Sumber Daya Insani adalah sebuah potensi yang dimiliki oleh
manusia yang diawali dengan pemberian bekal ilmu pengetahuan terhadap manusia
itu, yang akhir dengan Sumber Daya Insani yang dimilikinya manusia dapat
mencapai insan saleh. Insan saleh adalah tujuan akhir dari cita-cita Sumber
Daya Insani. Untuk menciptakan insan saleh memerlukan persiapan proses panjang
mulai dari persiapan pendidikan di rumah tangga di masyarakat dan pada sekolah
formal harus satu arah dalam meningkatkan Sumber Daya Insani, dengan tujuan
agar terwujud insan saleh dan masyarakar saleh.
Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa manusia lahir membawa kemampuan laten yang disebut dengan
fithrah. Fithrah sifat dasar baik dan berakidah tauhid. Atas dasar itulah dapat
dikatakan bahwa agama merupakan kebutuhan naluriyah yang dibawa lahir.
Kenyataan fithrah inilah yang menjadi sasaran pengembangan Sumber Daya Insani.
Jadi menurut hemat Ibnu Khaldun
pengembangan fithrah sama halnya dengan pengembangan Sumber Daya Insani.
Demikan pandangan Ibnu Khaldun tentang pengembangan
Sumber Daya Insani, lewat tulisan mudah-mudahan kita mendapat manfaat,
setidaknya membuat komparasi kepada kaum pendidik atau calon guru, guru, dan
tenaga kependidikan untuk pengembangan diri dan pengembangan Sumber Daya
Insani.
DAFTAR
BACAAN
Azra,
Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Langgulung,
Hasan. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Masrasuddin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Pengarang
Buku-buku dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, Khazanah Orang Islam, Jakarta: Penerbit Republik, 2002.
Ramayulis & Samsul Nizar. Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Samsu
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Tim Penulis Ensiklopedi, Ensiklopedi
Islam, Jilid V Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994
Warul Walidin, Konstlasi Pemikiran Paedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan
Modern, Nanggroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2003
[1]. Kitab
ini pada mulanya merupakan pengantar dari kita-kitab al-`ibar. Namun karena
begitu pentingnya, akhirnya dipisahkan dari karya induknya menjadi suatu karya
yang tersendiri. Lihat, Warul Walidin, Konstlasi
Pemikiran Paedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, (Nanggroe
Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2003) hlm, 40
[2]. Samsu
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),
hlm, 93-94
[3]. Pengarang
Buku-buku dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, Khazanah Orang Islam,
(Jakarta: Penerbit Republik, 2002), hlm. 119.
[4]. Warul Walidin, Op-Cit. hlm 20
[5]. Ibnu
Khaldun , hidup pada abad ke 14 M/ 8 H
era ini merupakan penghujung zaman pertengahan dan permulaan masa Renaissance atau masa kejayaan Islam.
Pada masa permulaan abad ke 8 M sampai kepada abad ke 13 M kemajuan di bidang
intellectual, ekonomi, social dan teknologi telah menjadi cirri dunia Islam,
bahkan pada zama ini lazim disebut dan
pernah dinamakan sebagai abad Mu`jizat `Arab. Lihat Warul Walidin, Ibid, hlm 21
[6]. Tim
Penulis Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Jilid
V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 158
[7] Abudin
Nata. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hlm. 172-173. Lihat Juga Warul Walidin, untuk mengenang Ibnu Khaldun rumah
kelahirannya yang ada di sybillia sekrang tetap menjadi perhatian, hingga
beberapa tahun terakhir ini rumah tersebut dikenal sebagai “ulya” pada pintu
masuknya termpampang sebuah batu marmar berukirkan nama dan tanggal lahir Ibnu
Khaldun. Lihat Warul Walidin, Op-Cit., hlm 30
[8]. Samsu
Nizar, Loc-Cit
[9]. Abudin
Nata, Op-Cit,hlm 174
[10]. Ilmu
yang bersifat Naqliyah merupakan ilmu
yang dinukil manusia dari yang merumuskan atau yang menetapkan landasannya dan
diwariskan secara turun-temurun. Semua ilmu ini bersandarkan kepada informasi
otoritas Syar`ah. Sementara ilmu yang bersifat Aqliyah (rasional), buah dari aktivitas pikiran manusia dan
perenungannya. Lihat Warul Walidin, Op-Cit,
hlm, 138 dan 141
[11]. Ramayulis & Samsul Nizar. Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 20-26.
[12].
Masrasuddin Siregar, Konsep Pendidikan
Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999),hlm 35-36
[13]. Abudin
Nata. Filsafat,… Loc-Cit
[15] Hasan
Langgulung. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 258-264.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar