PENDIDIKAN
NASIONAL
“DI
PERSIMPANGAN JALAN”
-----------------------------------------------------------------------------
Oleh: Drs.Samsuddin M.Ag*)
A.
Pendahuluan
Salah satu
agenda besar negara Republik Indonesia (RI) adalah menciptakan rakyat cerdas,
cemerlang dan sejahtera, tujuan ini termaktub jelas di dalam pembukaan UUD 45
bahwa tujuan kita untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI) ialah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Paradigma tujuan ini cukup bermakna
pisikologis yakni bangsa yang cerdas sudah barang tentu secara sistemik aspek
kehidupan rakyat akan sejahtera lahir dan batin. Tentunya mari kita angkat
tangan kepada para pendahulu kita yang telah meletakkan dasar-dasar tujuan
Negara yang begitu jelas dan afik itu.
Bangsa yang
cerdas adalah bangsa yang dapat survive di dalam menghadapi berbagai
kesulitan atau krisis, faktanya bangsa Indonesia dewasa ini dilanda krisis
multidimensional. Menuurt Prof. Dr. Marta Tilaar, krisis bangsa Indonesia sudah
merambah dalam berbagai sector, mulai dari krisis politik, ekonomi, hokum,
kebudayaan dan tidak dapat disangkal krisis dalam bidang pendidikan.
Krisis yang
dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah merupakan refleksi dari krisis
pendidikan nasional pada masa lalu, pengelolaan pendidikan mulai dari pusat
sampai ke daerah terkesan tidak punya komitmen untuk mencerdaskan bangsa,
pendidikan ditelantarkan tanpa sarana dan prasarana yang jelas, guru salah
kamar tidak professional, infut siswa sangat rendah dan kualitas pendidikan
tidak sampai kepada tujuan untuk mencerdaskan bangsa, beginilah prototype
pendidikan kita masih berada di “persimpangan jalan”.
B.
Carut Marut
Pendidikan Kita
Bagi pengamat
pendidikan dan bagi guru yang mempunyai integritas tinggi terhadap pendidikan
serta bagi orangtua dan masyarakat sangat terasa akhir-akhir ini betapa darurutnya
system pendidikan nasional, keresahan ini dituliskan oleh Dr. Zuabaidi M.Ag,
M.Pd, bahwa krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan
melibatkan miliki kita yang paling berharga yaitu anak-anak kita. Krisis
dimaksud tandasnya meningkatnya pergaulan seks bebas, dengan indikasi 51 %
remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah, artinya dari 100 remaja 51
orang tidak perawan lagi, lain halnya di Surabaya tercatat 54%, di Bandung 47%
dan di Medan 52%. Menurut laporan Kepala BKKBN Pusat tahun 2010, kasus
tertinggi perilaku seks bebas yang dilakukan oleh remaja usia sekolah adalah di
Yogyakarta, setidaknya 37% dari jumlah 1.160 pelajar yang menerima gelar MBA (marriage
by accident) alias kehamilan di luar nikah.
Lain halnya
maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa, pencurian,
tauran antar pelajar, antar mahasiswa sampai ada yang tewas mengenaskan,
penyalahgunaan obat terlarang, pornografi, pemerkosaan, perampasan dan
kebiasaan menyontek sampai ada istilah tahun lalu “contek massal”. Masih banyak
lagi keresahan yang mengkhawatirkan di kalangan pelajar kita, seperti yang direlis
oleh ESQ ada tujuh krisis moral yang sering terjadi di kalangan pelajar kita,
krisis kejujuran, krisis tanggungjawab, krisis tidak berpikir ke depan, krisis
disiplin, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan. Kegalauan ini semua telah
menjadi trend bagi kalangan pelajar kita.
Kondisi emergence
(darurat) ini menandakan bahwa sipil effek dari pendidikan yang diperoleh anak atau
yang di dapatkannya dari sekolah ternyata tidak dapat membentuk prilaku anak
menjadi cerdas, lagi-lagi pendidikan kita masih berada “di persimpangan jalan”.
Sebuah kajian
yang mendalam gagalnya lembaga pendidikan kita menciptakan bangsa yang cerdas
adalah disebabkan karena system pendidikan masih menitikberatkan pada aspek kognitif semata, sedangkan aspek soft
skils atau non akademik sebagai unsur utama pendidikan selalu terabaikan,
selain dari itu target akademik yang menjadi dasar keberhasilan anak bukan
ditentukan dan sukses dalam Ujian Nasional. Jadi pardigma pendidikan ke depan
adalah dapat mengobah target dari aspek kognisi menuji aspek soft skils, dan Ujian Nasional di desain bukan sebagai
hantu yang menakutkan bagi pelajar.
C.
Sekolah Sukses:
Berbasis Karakter
Walsh,M, dalam
bukunya Building a Successful School menyebutkan bahwa sekolah sukses adalah di
mana siswanya menunjukkan perkembangan yang cukup berarti, terlepas dari apakah
mereka mencapai standar yang tinggi atau tidak. Dengan demikian proses oriented
atau proses pembelajaran adalah merupakan kunci utama dalam
membangun krakter anak menjadi manusia cerdas, sedangkan proses result
(proses pemberian angka atau evaluasi) adalah merupakan pertimbangan bagi guru
untuk memberikan menetapkan keberhasilan anak menjadi cerdas.
Sekolah sukses
yang dikembangkan oleh Walsh dengan
menitikberatkan pada setting proses ketimbang produk atau hasil diperkirakan
dapat memberikan penguatan moral dan krakter anak. Setting proses dalam
pendidikan dan pengajaran dengan system aturan yang ketat dengan sendirinya
akan membuahkan hasil produk yang berkualitas. Ternyata sekolah sukses ini telah
di adopsi di Indonesia sebagai akses dan sebuah model pendidikan
yang dapat mendongkorak kualitas pendidikan kita, pengadopsian ini dalam versi
Indonesia berwujud seperti sekolah plus dan unggulan, tampak jelas bedanya
dengan sekolah regular biasa, yang paling dominan perbedaanya adalah motivasi
belajar anak sangat tinggi, jadi tipe sekolah sukses adalah benar-benar sekolahnya
orang yang mau sekolah, karena setingg proses berjalan sesuai dengan Standard
Operating Procedural (SOP) yang telah di tentukan, proses rekrutmen guru, dan
siswa berada dalam kondisi proses yang sangat ketat sekali, manajemen
pendidikan berbasis akuntabilitas dan transpran dan pimpinan sekolah
professional. Model pendidikan seperti akan mengangkat pamor pendidikan
nasional. Tapi sayangnya model sekolah sukses masih tergolong langka di negeri
ini, dan kalaupun ada, anak orangtua trauma memasukkan anak dan keluarganya
untuk belajar di sekolah ini. Karena paradigma anak masih tergolong primordial
takut kalah sebelum bersaing, dan memang pendidikan di sekolah sukses aturan
mainnya adalah berdasarkan setting proses yang ditutut mengaplikasikan aspek afektif
yang berujung kepada soft skils sehingga anak memiliki krakter dan
moral, karena kebiasaan proses yang di dapatkannya di sekolah akan tercermin
aktualisasinya di dalam masyarakat.
Oleh karena itu
paradigma pendidikan untuk masa depan yang dapat mengantisipasi krisis moral
anak, perlu mengembangkan tipe sekolah sukses di kembangkan pada seluruh daerah
di nusantara ini.
D.
Penutup
Demikian
tulisan ini diluncurkan agar pemerhati pendidikan terbuka pikirannya untuk
memberikan solusi bagaimana seharusnya konteks yang tepat model pendidikan yang
dapat mencerdaskan bangsa, setidaknya tulisan ini dapat berguna sebagai modal
untuk melaksanakan refomasi total terhadap dunia pendidikan kita yang masih
berada di “persimpangan jalan”.
*) Penulis adalah Desen Strategi Pembelajaran pada STAIN
Padangsidimpuan
Padangsidimpuan,
Oktober 2012
Penulis
Drs. Samsuddin M.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar